Cerpen: Diam
Aku di sini. Aku masih di sini dan akan selalu di sini. Tak ada yang berubah dan masih akan selalu sama, aku di sini. Di hadapanku, langit terus berubah, cuaca berganti, orang berlalu lalang, tapi aku tak sedikitpun bergeming. Aku tak peduli, aku tak berubah, aku di sini.
Aku membatu di bumi yang berputar, senyap di antara ingar bingar. Waktu terus berlalu, tak sedikitpun ada yang berubah dariku. Aku masih di sini, menunggumu. Entah berapa masa berlalu sudah, dan berapa banyak masa yang masih mesti dilalui, aku tak acuh. Aku di sini, menunggumu, tak beranjak.
Di sini tak selalu hanya ada aku dan pohon-pohon kecil ini, kita pernah bersama. Beribu kenang pernah tercipta di bangku ini, tawa, tangis, semua. Dingin hujan tak terasa ketika dilalui berdua. Pelukmu selalu hangat, tawamu mengusir segala gusar. Namun, waktu berganti, pun pada manusia, kamu berganti, kenang memudar. Sirna tergerus waktu.
Kau tak pernah lagi singgah, sedikitpun tak pernah. Aku mulai curiga perpisahan itu jangan-jangan sungguhan. Aku terus menyangkalnya, tapi waktu tak lelah terus berganti. Aku memohon pada waktu untuk sedikit bersabar, tapi ia tak peduli. Getir kian terasa seiring harap yang kian menyusut. Aku mulai tertunduk, tapi belum akan beranjak. Aku tak selemah itu.
Terik siang kerap menguji keteguhanku. Panasnya menyengat dan sinarnya selalu membuatku mengernyit kesilauan. Namun, aku kembali tersenyum. Matahari selalu mengingatkan aku padamu, ia hangat, terlebih sumber kehidupan. Aku tak peduli seberapa panasnya, aku ingin matahari terus menyinariku. Aku ingin kamu menyinari hidupku.
Kini sudah puluhan ribu kali matahari terbit dan tenggelam. Rambutku mulai memutih dan kulitku berkeriput. Aku tentu saja masih di sini. Sepi dan dingin sudah tak lagi mengusik, aku telah terbiasa. Boleh kuakui, segini banyak yang kulewati sedikit membanggakan. Siapa lagi yang rela berkorban begini menderita demi menunggu seseorang? Aku yakin ketika kau datang, kau akan tersenyum dan memelukku bangga. Aku tersenyum seketika.
“Bodoh.”
Tiba-tiba aku mendengar sayup suara dari belakangku. Suara itu sedikit parau, tapi tak asing di telingaku. Aku sekonyong-konyong bergairah. Itu pasti suaramu! Aku lekas menoleh ke belakang.
“Bruk!” kau memukulku dengan payungmu yang kau jadikan tongkat untuk berjalan. Aku menahan sakit sambil memandangi wajahmu yang kini sudah sama-sama keriput termakan usia. “Tunggu dulu, ini aku!” ucapku.
“Bruk!” kau memukulku sekali lagi. “Kenapa masih juga di sini, bodoh.” omelmu. “Sudah kubilang pergi saja, kejar hidupmu.”
“Bertahun-tahun aku di sini demi kamu.” kataku. “Lihatlah, tak sedikitpun kamu menghargainya? Aku masih sama, perasaanku juga tak sedikitpun berubah. Waktu berganti dan saya tidak berubah sedikitpun. Aku di sini menunggumu.”
Kau menghela napas. “Tapi saya tidak.” jawabmu. “Dunia ini dinamis, sepantasnya waktu berubah, jalan hidup berubah, manusia berubah… tapi kamu tidak. Bodoh.”
Aku terdiam.
“Jika kamu pikir saya akan terkagum-kagum melihatmu menunggu segini lama demi saya, kamu bodoh.” ucapmu seketika. “Lagipula, duduk dan menunggu itu menyedihkan. Hidupmu sia-sia, kau tahu itu.”
“Tapi…” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, kamu sudah kembali memotong.
“Sudahlah, jangan banyak membela diri, sudah terlambat.” ucapmu seraya pergi. “Sebentar lagi kita akan mati, kau tau.”
Sosokmu memudar di antara kabut seiring jalanmu yang kian jauh meninggalkanku. Aku tak bisa lagi berkata, hatiku gusar dan gundah. Kecewa. Aku tak bisa memahaminya, salahkah kita untuk menjadi selalu menjadi sama? Entahlah, aku sedang rongseng, tak sanggup berpikir.
Semalaman aku terbaring di bangku taman ini, terus merayau di ambang tidur dan terjaga. Mataku masih sedikit sembap, tapi mentari mulai meninggi. Aku membangkunkan diriku dan membenarkan posisi dudukku. Hari ini hari cerah, cukup terik. Ada yang lain dari biasanya, seketika aku tersadar aku tidak mengernyitkan mataku. Aku menoleh ke sekitarku, pohon-pohon di sekitarku kini sudah tumbuh demikian tinggi hingga bayangnya sampai untuk menutup sinar matahari di mataku. “Ah ya, aku sudah cukup lama juga di sini, hampir seluruh hidupku. Waktu berlalu demikian cepat.”
Aku masih terduduk, pikiranku mulai tenang. Aku kembali memandangi sekelilingku. Pepohonan selalu terlihat diam, sementara sekelilingnya terus berubah. Awan bergerak, langit berubah, dan cuaca berganti, pepohonan mungkin terlihat diam, tapi tidak. Hujan dan panas yang terus bergantilah yang menumbuhkannya. Ia bertumbuh dari dalam dan perlahan, tapi pasti, ia terus bertumbuh, bergerak. Dunia ini terus berubah dan hidup ini berselaras dengan keadaannya, perubahanlah yang membuat kita terus bergerak, bertumbuh, menjadi lebih baik.
Aku tersenyum. Aku mulai bisa mengerti maksudmu sekarang. Agak terlambat, tapi apa boleh buat. Dengan perlahan aku mengangkat tubuhku bangkit, beranjak dari bangku yang sudah berpuluh tahun kudiami. Aku melangkah perlahan, aku tak lagi muda, tapi yang pasti, aku tetap melangkah.
“Di kolong langit ini tak ada yang diam, kecuali mereka yang mati.” pikirku. “Lagipula, kita bahkan tinggal di bumi yang berputar.”