Cerpen: Hujan

“Pak! Bangun Pak, hujan lagi!”

misha.
3 min readFeb 26, 2021
Photo by Jonathan Ford on Unsplash

“Pak! Bangun Pak, hujan lagi!” begitu teriak Seno kecil sambil mengguncang-guncang tubuh bapaknya yang tengah tidur mengaso. Bapaknya yang seketika terjaga segera bangun dari tikarnya. Dengan hanya berkaus singlet dan celana panjang yang belum ditukar sejak pulang mengojek, pria paruh baya itu berlekas-lekas mengambil ember-ember yang memang selalu digunakan untuk menampung rintik-rintik air yang bocor di beberapa titik rumah. Kemudian, tak lupa ia mengambil papan yang kemudian dipasangnya di muka pintu sebagai tanggul bilamana hujan deras ini membawa banjir.

Begitu protokol yang Seno dan bapaknya mesti lakukan setiap hujan turun. Hidup pas-pasan di tengah padatnya pemukiman kumuh ibukota membuat tak banyak yang bisa dilakukan mereka. Pasalnya, uang mereka tak cukup untuk memperbaiki rumah yang penuh bocor tersebut. Sementara banjir, sudah tak heran lagi menjadi tradisi di kawasan tersebut. Berkali-kali rumah mereka harus terendam banjir yang cukup parah, yang ironisnya hanya makin memperburuk keadaan rumah mereka yang sangat sederhana itu.

Seno kecil lama-lama menjadi geram. Ia tak mengerti satu hal baikpun soal hujan. Baginya, hujan hanyalah kutukan yang membuat repot keluarganya, hanya mempersulit orang susah sepertinya. Hujan membuat bocor yang membuat beberapa buku sekolahnya basah jika tidak segera ditampung ember. Hujan juga membawa banjir yang membuat rumahnya terendam dan mesti memaksanya menghabiskan beberapa waktu di posko pengungsian. Belum lagi membereskan rumahnya yang isinya kucar-kacir setelah banjir. Ia benci hujan dan tumbuh besar dengan demikian.

Seno kini sudah tumbuh menjadi seorang pemuda dan bekerja sebagai office boy di sebuah kantor. Bapaknya kini sudah tiada, tapi ada satu hal yang masih diingatnya dan cukup menyangkut di pikirannya; bapaknya tak pernah benci hujan. Dengan semua yang dialami mereka akibat hujan, bapak Seno selalu legowo menerimanya. Hingga suatu waktu, Seno kecil yang penasaran pernah bertanya pada bapaknya,

“Kenapa mesti ada hujan sih, Pak?”

“Hujan itu berkah, Nak,” ungkap Bapaknya. “Kalau dapat berkah, kita harus bersyukur, bukan?”

Seno kecil bingung dengan jawaban bapaknya. Pikiran kecilnya belum bisa menangkap apa yang dimaksud bapaknya. Apalagi, baginya selama ini hujan hanyalah berarti hal buruk. “Berkah?” tanyanya.

“Hujan itu titah alam yang tak bisa diatur-atur. Apa yang alam beri itu asalnya dari Gusti Allah. Nah, yang diberi Gusti Allah itu namanya berkah. Baik buruk kita terima,” pungkas Bapaknya.

Seno kecil hanya mengingat apa yang bapaknya sampaikan tanpa mengerti. Ia yakin bapaknya punya maksud yang ia belum mengerti.

Suatu waktu Seno bangun cukup terlambat untuk berangkat ke kantor. Dengan sangat tergesa-gesa ia bersiap dan buru-buru tancap gas menunggangi motor yang belum lunas kreditnya itu. Saking tergopoh-gopohnya, ia tak memperhatikan langit yang sasmitanya sudah menunjukan akan segera turun hujan. Mendung merundung Jakarta pagi, dan sialnya, Seno tak membawa jas hujannya yang ia jemur semalaman setelah dipakai kemarin. Gerimis tak pelak mulai berinaian dan tak lama berubah menjadi hujan deras. Seno kuyup. Tak ada yang dapat dilakukannya, ia dengan sangat rongseng berteduh di tepi jalan, di bawah sebuah jembatan halte.

Ia termangu begitu saja, terduduk di tepi trotoar. Sementara hujan terus merabas, membasahi sekujur tubuh dan pakaiannya yang sudah kuyup sedari tadi. Ia begitu kesal sampai-sampai mengutuki langit dan keadaannya. “Sial!” teriak batinnya. Sekali lagi alam hanya membenarkan dendamnya akan hujan; bahwa hujan itu hanyalah pembawa sial baginya.

Beberapa jam berlalu, dan hujan yang cukup awet itu akhirnya perlahan mulai mereda juga. Seno masih tertunduk dongkol. Ia tak memedulikan pekerjaannya, hujan telah membuatnya terlalu gondok untuk memikirkan itu. Dengan badan yang basah, ia hendak beranjak dan membawa motornya pulang. Ketika hendak menaiki motornya, ia melihat beberapa kucing jalanan berkumpul di depan motornya. Kucing-kucing itu sedang minum di sebuah kubangan kecil di depan motornya. Hujan membuat air menggenangi lekuk jalan yang tak rata tersebut sehingga terciptalah sebuah kubangan yang bagi kucing-kucing itu bagaikan sebuah mangkuk minuman.

Seno memperhatikan kucing-kucing itu minum. Tak lama, ia mulai tersenyum. Ia kini paham apa yang bapaknya maksud. Hujan itu berkah bagi kucing-kucing itu. Hujan merupakan pemberian alam bagi mahkluk-mahkluknya, dan ia menyadari bukan hanya ia satu-satunya di bumi ini. Apa yang ia kutuki, mungkin menjadi doa bagi sebagian lain. Kini, Seno bisa mulai bisa memahami hujan dan romantikanya. “Pemberian alam, baik atau buruk itu harus dinikmati,” begitu kenang Seno akan bapaknya. “Lagipula, baik-buruk itu adalah soal yang nisbi,” tambahnya dalam hati.

--

--

misha.
misha.

Written by misha.

sekelebat isi pikiran saya.

No responses yet