Cerpen: Kebelet Kencing
“Sepatu, baju ganti, handuk, … apalagi ya,” ujar Mario mengabsen isi tas futsalnya. “Oiya, kaos kaki!” lanjut Mario sembari mengambil kaos kaki di lemarinya. Seperti biasa, Kamis malam (atau ‘malam Jumat’ bagi sebagian orang) adalah jadwal futsal Mario dan teman-teman barunya di kampus. Sudah hampir 2 bulan ini mereka rutin main futsal. Selain kebetulan sama-sama hobi, futsal sekaligus juga menjadi sarana para mahasiswa-mahasiswa baru ini mengakrabkan diri. Mario, yang notabene merupakan anak rantau dari Jakarta, tentunya merasa senang bisa langsung memiliki cukup banyak teman di Jogja.
Hari ini lapangan futsal yang biasa mereka datangi penuh, sehingga mereka terpaksa harus main di tempat yang lain. Biasanya sih, Mario berangkat sendiri, tapi karena Mario belum tahu jalan ke tempat futsal hari ini, Mario berangkat dijemput Ardi, temannya yang memang orang Jogja. Di motor, Mario membuka obrolan.
“Emang hari ini main di mana sih, Di?” tanya Mario.
“Gak jauh dari sini sih, Mar. Cuma, tempatnya sih lumayan angker.” jawab Ardi setengah bercanda.
“Angker gimana, Di?” tanya Mario.
“Emang daerahnya agak sepi gitu sih, Mar. Ditambah ada cerita-cerita serem gitu deh.” ujar Ardi.
“Cerita serem?” potong Mario.
“Iya, katanya sih ya… dulu pernah ada perempuan yang diperkosa ramai-ramai terus dibunuh di kamar mandinya. Terus, sejak jadi TKP, kamar mandinya jadi terbengkalai sih, gak keurus.” ujar Ardi. “Aku percaya gak percaya sih, cuma sejak itu, terutama cowok, jadi sering dijailin. Beberapa kali, kalau harus ke kamar mandi itu aja, aku tetep sambil ‘permisi’ gitu sih, Mar.”
“Ah, gue gak percaya gitu-gituan, Di.” ujar Mario. “Itu mah paling kayak hoax-hoax mister gepeng pas SD, atau hoax-hoax sekolah bekas rumah sakit, kuburan, atau apa lah.”
“Ya, gak tau juga sih Mar.” ujar Ardi. “Sebenernya gak ada yang mau main malem kayak gini di sana. Tapi ya, daripada kita gak main.” lanjut Ardi sembari tertawa kecil.
Sesampainya di sana, Ardi dan Mario menjadi yang pertama sampai. Seperti biasa, teman-temannya ngaret. Ardi dan Mario duduk menunggu di luar lapangan. Tempatnya, memang cukup sepi dan gelap. Selain cukup jauh dari jalan besar, penerangannya juga minim. Di sana hanya ada mereka, dan bapak-bapak paruh baya penjaga lapangannya. Selang sekian waktu, beberapa temannya mulai berdatangan. Mereka bergegas bersiap-siap mengenakan kaos kaki dan sepatunya.
Setelah mengenakan sepatu, Mario tiba-tiba menowel Ardi, “Di, temenin kencing dong, gue kebelet nih.”
“Yaelah Mar, nanti kan main juga keringetan, keluarin dari situ aja. Lagian, cowok kok ngajak-ngajak kencing bareng. Takut ya?” goda Ardi bercanda.
Mario mengelak, “Ih, enggak lah, gak percaya gitu-gituan gue mah. Gue belom tau aja wc-nya di mana.”
Ardi akhirnya menemani Mario berjalan ke kamar mandi yang terletak di belakang lapangan. “Tuh, kamar mandinya di belakang situ, tinggal lurus.” ujar Ardi sembari berjalan di belakang Mario. Mario yang tidak mau terlihat takut, dengan pede terus berjalan ke arah kamar mandi tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.
Mario langsung masuk ke kamar mandi tersebut. Ternyata kamar mandinya cukup besar, terlihat ada beberapa pancuran mandi dan beberapa bilik WC. Namun, semuanya terlihat usang dan tak terurus; pancurannya berkarat, keramik dan cerminnya nampak sangat kotor dan sudah mulai retak, langit-langitnya juga sudah mulai ambruk dan keropos akibat hujan. Terlebih, hanya ada 1 lampu temaram di kamar mandi sebesar itu. Cukup angker sih memang, tapi Mario mengabaikan itu semua dan buru-buru masuk ke dalam bilik untuk buang air kecil. Maklum, Mario kebelet seusai minum cukup banyak sebelum berangkat.
Di tengah-tengah buang air kecil, Mario mendengar bunyi langkah kaki di keramik yang retak sehingga bunyinya terdengar jelas. Mario sedikit tersentak, dan kemudian…
“Tok, tok, tok.”
Ada yang mengetuk pintu bilik WC Mario. Mario sedikit takut, tapi ia sadar itu pasti Ardi yang mencoba menakut-nakutinya.
“Gak lucu deh, Di.” teriak Mario. “Dah tunggu aja gue bentar lagi.” lanjut Mario.
Seusai itu, Mario langsung bergegas keluar. Ia bahkan juga tak sempat menyiram WC-nya. Sesampainya di luar, ia melihat Ardi yang sedang berjalan ke arahnya.
“Loh, udah selesai kencing?” tanya Ardi.
“Bercanda mulu deh, Di. Sudah ah, gak lucu.” jawab Mario.
“Lho, aku tadi balik lagi buat ambil hp, takut agak gelap kamar mandinya.” ujar Ardi. “Aku, kira kamu nungguin aku.” lanjut Ardi.
Mario mulai jadi sedikit takut, tapi ia masih yakin kalau Ardi cuma mengerjainya. “Sudah deh, Di. Lu belom berhasil nakut-nakutin gue. Pake ngetok-ngetok pintu WC segala lagi. Lagian, gue gak percaya juga.”
Ardi tampak sedikit bingung, tapi kemudian keduanya tidak menghiraukan hal ini lagi dan kembali ke lapangan. Teman-temannya sudah terkumpul semua dan mereka akhirnya mulai bermain.
Dua jam berlalu dan sekarang pukul 10 malam. Seusai beberes, semuanya bersiap untuk pulang, termasuk Ardi dan Mario. Hampir sepuluh menit kemudian, mereka sampai di kosan Mario. Mario kemudian turun dari motor.
“Thanks ya, Di. Hati-hati.” ujar Mario.
“Sip Mar, balik ya.” pamit Ardi. Sesaat sebelum ia kembali menjalankan sepeda motornya, ia kembali berkata pada Mario.
“Oiya Mar, tadi beneran bukan aku di kamar mandi.”
Seketika Mario sedikit merinding, tapi ia hanya menertawakan perkataan Ardi. “Masih belum menyerah juga lo, Di.” ujar Mario. “Dah, sana balik, entar ada yang ngikutin lho.” canda Mario. Kemudian, Ardi lanjut pulang, sementara Mario masuk ke kamar kosnya.
Sesampainya di dalam, Mario mengunci pintu kamarnya. Ia segera mengambil handuknya dan bergegas mandi. Badannya sudah bau keringat. Ia menutup pintu kamar mandinya, menanggalkan pakaiannya, dan kemudian menyalakan pancuran air. Namun, sebelum sempat mandi, Mario sudah merasa kebelet buang air kecil lagi. “Duh dah kebelet lagi aje,” ujar Mario sembari membuka klosetnya dan kencing.
Belum selesai kencingnya, tiba-tiba WC Mario ter-flush sendiri. Jantung Mario seketika terasa berhenti, matanya terbelalak, dan ia merinding takut. Kemudian, pintu kamar mandi Mario berbunyi
“Tok, tok, tok.”