Cerpen: Lahir Miskin

“Salah siapa?”

misha.
4 min readFeb 10, 2021
Photo by Jordan Opel on Unsplash

“Tak peduli kalian lahir kaya atau miskin, tetapi kalau kalian mati miskin itu salah anda,” begitu ucapan seorang motivator yang sedari tadi terngiang di kepala Seno. Dengan begitu antusias motivator itu berceloteh banyak hal terdengar masuk akal tentang kesuksesan dan banyak hal lainnya, yang tentunya tak saya sepenuhnya ia mengerti. Maklum, lelaki muda itu hanya seorang office boy di acara kantor tadi.

Malam ini langit ibu kota terlihat cukup cerah. Namun, tak satupun bintang dapat terlihat dari sini. Kemilau lampu gedung-gedung dan bising kendaraan seakan tak pernah membiarkan kota ini terpejam. Malam tak pernah benar-benar gelap dan cahaya bintang serta ketulusannya tak pernah sampai ke sini, di mata-mata penghuni kota yang gempita ini.

Di antara ingar bingar Jakarta malam, Seno memacu sepeda motor bebek bututnya pulang. Lelaki muda dan motor bututnya itu berlalu perlahan tapi pasti mulai meninggalkan pusat kota. Jalan kian lengang dan suasana kian hening, hanya tersisa ucapan motivator tadi yang masih terngiang-ngiang di kepala Seno dan suara mesin motor tua yang sudah merengek untuk turun mesin.

“Jadi, jika aku mati miskin, itu salahku,” simpul Seno dalam kontemplasinya. Ia kemudian teringat akan ayahnya yang sudah tua dan sakit di rumah, serta keempat adiknya. Lelaki muda itu dibebani semesta untuk menghidupi 5 orang di rumahnya setelah ayahnya jatuh sakit dan ibunya meninggal saat melahirkan adiknya yang terakhir. Dan pekerjaan terbaik yang dapat dimiliki seorang lulusan SMA seperti dirinya saat ini adalah office boy. “Apa kerjaku kurang keras?” sambung pikirannya.

Sebetulnya selama ini Seno merasa biasa-biasa saja. Baginya, nasib hidupnya ini memang sudah suratan dari Yang Kuasa. Toh, selama ini ia tak mengeluh akan sepeda motornya yang butut, akan atap rumahnya yang kerap bocor, atau akan makanan yang seadanya harus dimakan ketika tak memiliki uang. Pekerjaannya selalu ia lakukan dengan senyum dan tulus. Ia memang sudah terbiasa karena sejak kecil demikian. Baginya, tak ada yang aneh dalam hidupnya sampai hari ini, saat beberapa kalimat yang ia dengar tadi begitu mengusiknya.

“Aku sendiri terlahir miskin. Kalau begitu apa ini salah ayah? Ia miskin sedari lahirnya, dan hampir pasti ia mati miskin,” sambungnya berpikir. Kini ia benar-benar terdiam, perenungannya mencapai kebuntuan. Anak tertua ayahnya itu belum mampu memahami semua ungkapan motivator tadi dan realitas keadaannya. Pikirannya terpecah saat ia mesti berkonsentrasi mengendalikan sepeda motornya meliuk-liuk melewati gang-gang kecil menuju rumahnya.

Seusai memarkirkan sepeda motornya, Seno masuk ke dalam rumah 3x5 meter tersebut. Ayahnya yang kakinya bengkak dan tak lagi bisa digerakan sudah terbaring di atas kasur palembang di dekat pintu. Dua adiknya yang paling kecil juga sedang bermain-main di dekat ayahnya, sementara 2 adik lainnya kelayapan entah ke mana. Ia membangunkan ayahnya dengan perlahan, membuatnya duduk. “Pak, ini ada makanan sisa konsumsi acara di kantor. Bapak makan ini ya,” ucap Seno sembari memberi dus kotak yang berisikan nasi dan ayam bakar beserta lalapannya.

Ayah Seno terlihat lesu tak bergairah, ekspresi yang memang selalu seperti itu sejak sakitnya. Meski demikian, pria paruh baya tersebut perlahan tetap mulai memakan nasi kotak yang diberikan Seno, sementara lelaki muda itu memandanginya sembari berberes-beres. Anaknya itu tak mengerti sakit apa yang diderita ayahnya, yang ia tahu kaki ayahnya tak lagi bisa digerakan dan terdapat beberapa gangguan pikiran. Bahkan, kini ayahnyapun sulit bicara. Sebetulnya Seno sudah mencoba membawanya ke puskesmas, tapi penyakitnya butuh untuk ditangani tenaga yang lebih ahli di rumah sakit. Birokrasi yang ruwet dan tentu saja keterbatasan dana membuat ayahnya urung juga diboyong ke rumah sakit.

Office boy itu kembali tenggelam dalam lamunannya. Ia memandangi ayahnya yang kini renta tak berdaya. Lelaki muda itu jadi ingat akan sosok ayahnya yang masih gagah beberapa tahun lalu. Dulu, ayahnya adalah seorang mekanik. Ia tak ingat ayahnya pernah bermalas-malasan. Ayahnya, dan juga ibunya, seorang tukang cuci-gosok yang memegang 5 pintu setiap hari, adalah 2 sosok pekerja yang paling keras yang ia tahu. “Lalu, kemiskinan ini masih salah mereka?”

Gamit salah seorang adiknya seketika memecah lamunan Seno. Sang kakak tahu betul sasmita adiknya, mereka lapar. Kotak yang dibawanya hanya sebuah, untuk ayahnya. Ia merogoh kantong kemejanya, ada selembar sepuluh ribu, dan selembar lima ribu. “Nah, ayolah kita makan di warung,” ajak sang kakak.

Kedua adik Seno makan dengan begitu lahap. Tempe dan teri kacang disantapnya seperti daging ayam dan kremesannya, maklum kedua adik Seno belum makan sejak siang. Sang kakak hanya bisa menatap kedua adiknya yang masih asyik bersantap dengan menyembunyikan risau di dadanya. Sebelumya, ia tak pernah iba akan nasib kedua adiknya, juga pada dirinya, tapi kini ia begitu mengasihani dirinya sendiri. Lamunannya kembali terpecah saat kedua adiknya menenggak habis minuman mereka. Piring dan gelas semuanya telah bersih dari isinya. Kedua adik Seno menunjukan ekspresi senang, kepolosan yang amat tulus terpancar dari binar kedua pasang mata mereka.

“Sudah? Senang nggak?” tanya Seno sambil mengusap kepala adik-adiknya.

“Senang!” jawab salah seorang adiknya yang lebih tua. Keduanya tersenyum sumringah.

“Kok, aku nggak ya.” gumam Seno pelan, seperti dibisikannya untuk dirinya sendiri.

--

--

misha.
misha.

Written by misha.

sekelebat isi pikiran saya.

No responses yet