Cerpen: Lika-liku Lika & Liku (Ep. 1)
Aneh bagaimana dari ribuan pasang mata yang dijumpai Liku setiap harinya, hanya satu yang selalu menjadi favoritnya. Sepasang mata itu mungkin bukan yang paling indah, mereka kecil dan sempit (dan hal ini selalu membuat Liku bertanya-tanya apa benar dia bisa melihat melalui dua lubang kecil itu?), tetapi entah mengapa Liku tak pernah bisa lekang dari tatapan itu. Ia selalu berharap bisa menatap sepasang mata itu lebih lama dan berkunci pandang, hanya saja jika sekarang ia melakukan itu, tentu saja ia akan mendapat gamparan di pipi, atau setidaknya dicap sebagai orang yang aneh dan mengerikan.
Sepasang mata itu adalah milik Lika, adik kelas Liku semasa sekolah. Mereka mungkin saling tahu, tapi tentu saja tidak saling kenal. Semasa sekolah, bahkan mungkin hingga sekarang, Liku memang dikenal sebagai orang yang pendiam dan tidak banyak ikut bergaul di luar sekolah (jangankan dengan adik kelas, dengan teman sekelasnya saja banyak yang ia tidak kenal) dan tentu saja itu berarti Liku tak pernah bicara dengan Lika sebelumnya. Bahkan mungkin, Lika tak sadar jika ia pernah satu sekolah dengan Liku, karena sungguh kehadiran Liku di sekolah hanyalah bagaikan angin yang hanya disadari empat orang temannya. Mungkin singkatnya, Liku itu culun, seorang introvert culun (maaf, Liku).
Lika, di lain sisi, merupakan sosok yang cukup populer di sekolahnya. Ia memang dikenal sebagai persona yang periang, ramah, dan supel. Tentu saja, berbanding terbalik dengan Liku, ia memiliki banyak teman, dan cukup aktif mengikuti kegiatan-kegiatan sekolah dan hingga sekarang masih aktif mengikuti kegiatan kampus. Kendati demikian, ia bukan tipikal remaja populer yang dipenuhi stigma negatif pada umumnya. Ia sangat ramah dan rendah hati dan tentu saja hal itu makin membuat Lika disegani teman-temannya.
Oke-oke ini terlalu mudah ditebak, aku sudah tahu, pasti Liku suka dengan Lika kan?
Hm, itu sih sudah jelas. Liku tentu saja jatuh hati pada Lika, maksudku, siapa yang tidak? Hanya saja, Liku bahkan tak pernah bicara dengan Lika, bagaimana ia ingin ‘membuat pergerakan’? Apalagi melihat kondisi sekarang, Liku hanya bergaul dengan 4 orang temannya dan sebuah gitar (oh ya, saya belum mengatakannya tetapi Liku cukup piawai bermain gitar dan ya, itu satu-satunya teman di kamar kosnya, mengunci diri di kamar dan tidak pergi ke mana-mana). Sementara Lika hampir tak pernah sendiri (atau setidaknya kelihatannya begitu), ia selalu sibuk dan dikelilingi teman-temannya, maklum, ia memang supel dan aktif. Sekalipun demikian, ternyata mereka sudah sering bertemu dan bahkan sudah bergandengan tangan lho… tapi ya, tentu saja itu hanya terjadi di mimpi Liku, hehehe.
Liku selalu sempat melayangkan pandangannya secara klandestin ke Lika, mereka sering berpapasan di lorong kampus yang tidak terlalu besar memang. Tentu saja, Liku tidak pernah menyapa atau bahkan berkontak mata dengan Lika, ia selalu tertunduk dengan bukunya atau pura-pura menatap layar ponselnya (yang pasti tidak ada satupun notifikasi pesan yang muncul.) Liku selalu menghindari Lika, ia terlalu gugup untuk hal ini. Ya, bukan berarti sebenarnya Liku tidak pandai bicara atau kutu buku yang tidak bisa bersosialisasi, sebenarnya Liku cukup asyik dan lucu bahkan, hanya saja ia tidak mau membuat kesan pertamanya buruk di depan Lika. Ya, Liku terlalu perfeksionis dan memikirkannya berlebihan, tapi itulah Liku.
Kegugupan Liku terhadap Lika sangat tak terbantu dengan apa yang Lika lakukan di kampus, ia aktif berorganisasi, cerdas secara akademik, dan kepandaiannya bicara membuatnya aktif menjadi pembawa acara di acara-acara kampus. Hal itu membuat kekagumannya terus bertambah, berbanding lurus pula dengan kegugupannya. Maksudku bagaimana tidak, semua kelebihan Lika adalah kekurangan Liku. Pada titik ini, satu-satunya hal yang Liku inginkan adalah memiliki kesempatan untuk bisa bicara dengan Lika, dan setidaknya bisa menjadi temannya.
Semua penantian itu akhirnya mungkin terbayar pada satu sempat yang akhirnya tiba juga. Liku sejak dua minggu lalu mengambil part-time sebagai pramusaji di sebuah kedai kopi di seberang kampus. Betapa kencang dibuatnya jantung Liku berdegup seketika Lika membuka pintu masuk kedai kopi tersebut dan membuat bel berbunyi. Lika berjalan masuk dengan terlihat sedikit tertunduk lesu.
“Selamat sore, mau pesan apa?” tanya Liku.
“Es kopinya satu.” jawab Lika sembari membaca papan menu yang tertera di atas, sementara Liku mencatat pesanan Lika pada gelas plastik. Kemudian Lika melepas pandangannya ke arah Liku. Lika menatap Liku dengan curiga.
“Eh, Liku, kan? Yang suka main gitar?” ujar Lika sebelum Liku sempat selesai menulis. (Oya, lupa lagi, Liku kadang-kadang suka tampil dengan gitarnya di sekolah sesekali, itu juga bukan karena ia mau sih, tapi teman-temannya memaksa.)
“Eh…he eh.” jawab Liku kikuk sembari mengangguk iya dan tersenyum (padahal dalam hatinya ia melompat kegirangan sambil berteriak “Aku di-notice!!!”)
“Atas nama Lika, kan?” tanya Liku untuk mencatat namanya di gelas kopi tersebut, tentu saja dengan senyum tak bisa lepas dari wajah Liku.
“Iya, hehe.” jawab Lika sembari membalas senyum Liku. Kemudian untuk pertama kalinya mereka berkontak mata.
“Jadi, dua puluh dua ribu.” jawab Liku memecahkan lamunannya sendiri.
“Oh iya.” jawab Lika kemudian membayar dan kemudian bergegas pergi setelah mengambil pesanannya. Sementara Liku, tak masih tak berhenti tersenyum sepanjang malam, bahkan hingga ia tertidur.
Keesokan harinya, ketika bangun pagi, seperti yang dilakukan semua orang, Liku dengan masih setengah sadar mengecek ponselnya (yang sepi itu) untuk melihat jam. Seketika matanya langsung terbelalak ketika ia melihat sebuah notifikasi dari pesan singkat instagram, … dari Lika! Jantung Liku kembali berdegup kencang. Liku tak pernah sesemangat ini memulai harinya. Tentu saja notifikasi tersebut tak langsung ia buka, ia menyimpannya agar notifikasi dari Lika terpajang sedikit lebih lama (tak usah mentertawakannya, kita semua pasti pernah melakukan itu). Seberesnya mandi, Liku bergegas untuk berangkat ke kelas. Sembari jalan, Liku membuka pesan yang dikirimkan Lika semalam.
“Hai Liku, Aku Lika.
Besok sore boleh ketemu?”
Dua baris kalimat itulah yang membuat seketika langkah Liku terhenti, jantungnya berdebar, dan pupil matanya membesar. Sembari membetulkan posisi kacamatanya, ia masih tercengang dengan layar ponselnya. Hatinya menjerit kegirangan tentu saja, tapi jarinya dengan cool membalas pesan tersebut,
“Boleh, di mana?”
Demikian Liku menutup ponselnya dan melanjutkan perjalanannya ke kelasnya dengan begitu sumringah. Sungguh, pemandangan yang langka…