Cerpen: Lika-liku Lika & Liku (Ep.3)

Kemudian

misha.
5 min readAug 28, 2020
Photo by Alex Dukhanov on Unsplash

Langkah mereka terhenti seketika, sementara waktu juga seakan ikut berhenti. Hening kini menyelimuti Lika dan Liku tak tahu mesti berbuat apa. Lika yang sedikit kaget, kemudian mengalihkan pandangannya menghadap Liku, menatapnya yang kian gugup. Entah apa yang ada dipikiran Liku saat itu, tapi perasaannya sudah terlalu meluap dan kemudian mengambil alih lidahnya untuk mengungkapkan isi hatinya dengan demikian spontan. Liku kemudian melihat Lika tersenyum kecil, kemudian menggerakan bibirnya.

“Liku, makasih ya. Tapi,…”

Belum sempat Lika menyelesaikan kalimatnya, jantung Liku sudah terasa berhenti berdegup. Cukup dengan kata ‘tapi’ yang dilontarkan Lika sudah memupus harapan Liku. Sekarang Liku seakan menyesali beberpa detik yang baru saja terjadi. “Bodoh, bodoh, bodoh” gumam Liku dalam hatiya.

“Coba kamu pikir lagi perasaanmu,” lanjut Lika. “Jangan-jangan kamu cuma baper karena belakangan ini kita lagi deket, ya ga?” ujar Lika mencoba memecah kecanggungan. Liku terdiam rikuh.

“Liku, I like you too, as a friend,” ucap Lika. “Aku seneng banget punya temen kayak kamu, kamu unik.” lanjut Lika sembari tersenyum menatap Liku.

Sementara di kepala Liku, kini muncul satu kata yang menggema sedari tadi di kepala Liku. ‘FRIENDZONE!’ Perasaan Liku bercampur semuanya dalam hatinya: sedih, malu, lega, bingung, dan bodoh.

“Ah, kamu benar juga, Lika.” ujar Liku dengan sedikit tawa canggung. “Perhaps I’m not good at expressing feelings, hehe. You are such a good friend, dan mungkin aku ngerasa nyaman aja dan baper, hehe. Sorry.” lanjut Liku yang sebetulnya berbohong membenarkan pernyataan Lika. Liku sudah menyukai Lika sejak lama.

“Kamu, ngapain minta maaf?” tanya Lika. “I really appreciate this, lho. Kamu berani jujur sama perasaan kamu.” lanjut Lika.

“Ah, ya… sorry for making things awkward, I guess.” jawab Liku.

“Hm, gak lah, hehe. Justru kalau kamu pendam terus malah makin canggung nantinya.” ujar Lika menangani situasi ini dengan sangat baik. Sementara Liku… ia kini sudah kehabisan kata.

“Oh ya, anyway… We’re still friends, right?” tanya Lika.

“Ya, dong.” jawab Liku yang masih menahan segala kecanggungan ini.

“Oke, Liku… kalau gitu aku duluan ya.” pamit Lika.

“Hati-hati.” jawab Liku sementara Lika masuk ke mobilnya.

Liku berdiri menunggu mobil Lika beranjak. Langit yang sudah gelap kian mendung sementara angin berembus kian dingin, merasuk perasaan Liku yang masih berantakan. Lika membuka jendela mobilnya seraya melambai pergi meninggalkan Liku. Liku berdiri melambai balik ke arah Lika. Liku masih terdiam di titik itu sementara waktu. Ia butuh waktu membenahi perasaannya.

Semua harapannya seakan sirna di saat itu, secepat itu. Ia masih menyesali mengapa ia mengutarakan perasaannya dengan sangat spontan. Belum selesai ia mengutuki ‘bodoh, bodoh, bodoh’ di kepalanya, gerimis mulai berinaian. Liku kemudian menutupi kepala dengan hoodienya dan bergegas pulang dengan sedikit berlari. Klise.

Oke, sekarang sekian dulu kita membahas Liku, biar dia bergalau ria dulu sementara waktu. Sementara itu, kita beralih ke Lika. Apa yang ada di pikirannya saat ini?

Sepanjang perjalanan pulang di mobilnya, Lika mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Jalanan yang sedikit lebih macet akibat gerimis membuat ia memiliki cukup banyak waktu, ditemani playlist Alanis Morissette-nya yang sedari tadi berkumandang.

Lika tentu tak menyangka Liku akan tiba-tiba menyatakan perasaannya tadi. Ya, walaupun Lika belum memiliki perasaan lebih kepada Liku, Lika cukup menyukai pribadi Liku, kok. Lika sangat nyaman berteman dengan Liku. Menurut Lika, di balik sisi tertutupnya di luar, ia anak yang cukup asik. Di balik pemalunya, Liku memang cukup menarik. Isi pikirannya memang terbilang kompleks (tentu saja akibat terlalu banyak berpikir sendiri.)

“Hadeh, Liku… Liku. Ada-ada aja deh.” gumam Lika sembari tersenyum kecil mengingat yang terjadi tadi.

Hari-hari berlalu, hubungan Lika dan Liku sedikit merenggang. Tentu saja, Liku mulai membuat jarak antara mereka. Bagi introvert seperti Liku, kejadian secanggung itu tak akan bisa membuat pertemanan mereka menjadi sama lagi. Kini mereka lebih jarang bertemu, jarang berbicara, dan Liku mulai kembali lebih banyak menghabiskan waktu di kamar kosnya. Pesan-pesan singkat yang dikirim Likapun, dibalas Liku dengan seperlunya saja, singkat. Liku sedang dalam proses yang semua orang harus jalani ketika pernyataan cintanya tidak berbalas, yaitu: menghindar dan berusaha melupakan.

Sementara Lika perlahan mulai merasa kehilangan sosok Liku. Di antara sekian banyak temannya, memang tak banyak yang seperti Liku. Kadang mereka bisa menghabiskan berjam-jam berbicara mulai dari hal-hal yang remeh hingga hal-hal mendalam seperti kehidupan manusia dan alam semesta. Lika merindukan keberadaan Liku. Terlebih, walaupun Lika selalu terlihat di keramaian, Lika tak memiliki begitu banyak teman yang dapat dikatakan ‘teman’, kebanyakan mereka hanyalah rekan-rekan kerja dalam suatu kepanitiaan. Lika sedang butuh teman. Bukan sembarang teman, tapi Liku.

Semakin hari berlalu, Lika kerap mendapati diri sedang memikirkan Liku. ‘Aneh,’ pikirnya. Namun, sosok Liku terus mengitari isi kepalanya. Likapun sebetulnya kian bingung dengan perasaannya; tentang siapa Liku di matanya. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, perasaan Lika tak jua berubah. Ia ingin bersahabat dengan Liku seperti dulu lagi. Ya, walaupun kini masih sesekali bertemu, tapi Liku selalu terkesan menjauh.

Hari ini Senin, jam 8 malam; Lika bergegas setengah berlari menuju mobilnya. Gerimis kecil mulai merintik. Lika membenahi bawaannya yang hari ini cukup banyak, kemudian duduk, menyalakan mesin, dan memutar radio. Ia duduk sejenak menenangkan diri, menyandarkan kepalanya tertuntuk di stir mobilnya. Hari ini bukan hari yang baik untuknya, masalah inilah, itulah, ada saja. Ia merasa penat sekali. Lelah, kesal, semuanya bercampur aduk. Sebagai perempuan, Lika terbilang jarang sekali menangis, tapi hari ini air matanya tak terbendung.

Seusai menenangkan dirinya, Lika menarik napas panjang. ‘Semua akan baik-baik saja,’ pikirnya. Kemudian ia bersiap untuk menyetir pulang. Namun, baru beberapa meter jalan, ia merasakan ada yang tidak beres. Ban mobil Lika kempes, bocor. Lika tak sanggup berkata apa-apa lagi, ini resmi menjadi hari terburuknya. Kekesalannya memuncak hingga ia tak dapat berkata apa-apalagi, ia hanya tersenyum, mengambil payungnya, dan keluar. Ia mampir ke kedai nasi goreng di depan tempat parkir, sembari menunggu hujan, dan mencari cara mengganti bannya yang bocor. Kebetulan ia juga sudah sangat lapar seusai hari yang amat melelahkan.

Di bawah payung sambil masih mengusap air matanya, ia berjalan gesit menuju kedai nasi goreng itu. Seusai membersihkan sepatunya di keset dan melipat payungnya, ia masuk ke dalam kedai. Tepat di kiri pintu, di meja paling pinggir, duduk seorang lelaki yang sedang menyantap nasi gorengnya. Lika menatap laki-laki yang mulutnya masih penuh mengunyah nasi goreng itu, sementara baju dan rambutnya terlihat kuyup.

“Liku?” sapa Lika.

Liku hanya bisa mengangguk dengan menaikan alisnya, mulutnya masih sibuk mengunyah.

“Aku duduk di sini, boleh ya?” tanya Lika memegang kursi di hadapan Liku.

*bersambung ke episode selanjutnya

--

--

misha.
misha.

Written by misha.

sekelebat isi pikiran saya.

No responses yet