Cerpen: Lika-liku Lika & Liku (Ep.4)

Selanjutnya

misha.
5 min readAug 28, 2020

Liku hanya mengangguk mempersilakan Lika duduk semeja dengannya, mulutnya masih penuh juga. Kemudian Lika memesan pesanannya, nasi goreng dan teh hangat.

“Kok, kamu basah gitu sih?” tanya Lika membuka obrolan.

“Tadi kehujanan di jalan, belum sempat sampai kos, makanya mampir ke sini dulu deh sekalian makan malam.” jawab Liku. “Kamu sendiri? Ngapain ke sini?” tanya Liku penasaran.

“Yee, emang ga boleh?” canda Lika.

“Ya, gak apa-apa sih,” ujar Liku. “Tumben aja.”

Pesanan Lika datang, kemudian ia menyeruput teh hangatnya.

“Mata kamu merah, habis nangis ya?” tanya Liku polos.

“Ih… Engga kok.” ujar Lika malu.

“Kamu kenapa?” tanya Liku.

“Hm, jadi gini…” begitu kemudian Lika sambil menyantap nasi gorengnya, menjelaskan segalanya yang terjadi hari ini, termasuk bannya yang bocor. Liku mendengarkan seluruh cerita Lika dengan penuh perhatian.

“Yaudah, abis ini aku bantuin ganti ban ya.” ucap Liku.

“Yey, thanks, Liku!” jawab Lika. Ia kini merasa lega setelah bisa membagikan keluh kesahnya hari ini, juga karena persoalan bannya selesai.

Liku mengangguk sedikit tersenyum, kemudian melanjutkan makannya yang tinggal sedikit.

“Liku, kamu sendiri apa kabar? Aku dah lama banget kayaknya ga ngobrol; sama kamu.” tanya Lika.

“Hm… ya, gini-gini aja lah biasa,” ujar Liku tersenyum, seolah menghindari pertanyaan Lika. Kemudian ia meneguk habis sisa minumannya dan beranjak berdiri.

“Yaudah, mana sini mobil kamu? Hujannya sudah reda nih.” ujar Liku.

“Yee, tunggu kali, nasi gorengku aja belum habis.” balas Lika bercanda.

Seusai makan, Lika membantu Liku mengganti ban mobilnya, memegang flashlight. Seusainya mengganti ban, mereka membereskan kembali perkakas ke dalam mobilnya.

“Liku, thanks ya,” ucap Lika

“Ya, sama-sama, Ka.” jawab Liku.

“Bukan buat ban doang, tapi makasih dah mau dengerin tadi, jadi temen ngobrol,” ujar Lika. Liku hanya tersenyum mengangguk.

“Oiya, acara kampus besok malam, kamu dateng kan, Ku?” tanya Lika.

“Hm, kayaknya engga deh, tugas-tugasku masih numpuk.” jawab Liku yang terlihat berbohong mencari-cari alasan.

“Oh…” ucap Lika mengerti. “Ya sudah deh, aku duluan ya. Anyway, makasih sekali lagi.” lanjut Lika.

Photo by Gabriel Santiago on Unsplash

Lika masih merasa Liku selalu menghindarinya. Namun anehnya, seminggu ini Lika selalu tak sengaja bertemu dengan Liku. Setelah berminggu-minggu menghilang, kini Lika melihat Liku hampir di semua tempat yang disinggahinya; kemarin di tempat parkir, kantin, perpustakaan, di manapun. Semesta seakan mengatur semua ini. Aneh.

Memang Liku tak menghindari Lika secara berlebihan sih, mereka masih saling bertegur sapa. Hanya saja, Liku terlihat sangat membatasi diri, menurut Lika. Ya… Liku gak salah juga sih, toh Lika sendiri yang membuat batas itu. Tapi, kian kemarin Lika makin membenci batasan ini. Lika semakin ragu akan perasaannya, walau dirinya masih terus mengelak dari perasaan itu. ‘Ah gak mungkin lah, masa jadi aku yang suka Liku…’ ungkap Lika dalam hati.

Photo by Kenny Luo on Unsplash

Hari ini Sabtu siang, Lika pergi ke toko buku di sebuah mal. Ia pergi sendiri. Hari-harinya yang selalu hibuk membuat Lika merasa ia butuh waktu sendiri. Ia suka jalan-jalan sendiri dan sudah lama ia belum sempat melakukannya. Kebetulan, ia juga sudah lama tak membeli buku baru untuk dibacanya. Lika gemar membaca, baik fiksi maupun non-fiksi.

Ini sih udah ketebak, pasti dia ketemu Liku kan di toko buku!

Ssh… jangan dipotong dong orang lagi cerita. Ya, singkatnya sih begitu. Lika melihat sosok Liku sedang memilih-milih buku di rak. Lika menyapa Liku dari belakang.

“Eh, kamu lagi… kamu lagi.” sapa Lika.

“Loh, Lika… tumben.” ucap Liku kaget.

“Tumben?” tanya Lika.

“Iya, tumben sendirian? Ngapain ke sini?” tanya Liku.

“Nyari makanan gajah.” jawab Lika jutek. “Ya, nyari buku lah, ngapain lagi ke toko buku memangnya…” canda Lika.

Liku tertawa kecil. “Sama siapa?” tanya Liku.

“Sendirian, emang ga boleh?” tanya Lika bercanda. “Kayak kamu, sendirian mulu.” lanjut Lika bercanda. Liku tersenyum.

“Nyari buku apa?” tanya Lika.

“Apa aja sih. Tadi habis beli senar gitar, terus sekalian lihat-lihat buku deh, udah lama gak baca.” jawab Liku. “Kamu?” tanya Liku.

“Sama sih, aku mau nyari novel kayaknya.” jawab Lika. Kemudian mereka berkeliling toko buku sembari membahas beberapa hal soal buku. Mereka berdua hobi membaca memang. Kesamaan selera baca dan musik mereka yang membuat mereka nyambung.

“Liku, kamu habis ini mau kemana?” tanya Lika sembari membereskan dompetnya seusai membayar.

“Hm, mungkin mau makan sih, kamu mau ikut?” tanya Liku kembali.

“Mau!” jawab Lika antusias.

“Eh, semangat banget, hahaha.” jawab Liku sambil tertawa.

“Ehm, udah laper soalnya.” jawab Lika sedikit malu.

Mereka makan di sebuah kedai ramen yang terkenal enak. Sambil makan, Lika bercerita tentang banyak hal, mulai dari hidupnya, keluarganya, masalahnya, apapun. Tak banyak orang yang bisa membuat Lika membuka dirinya. Ya, kebanyakan mereka hanya berhubungan dengan Lika tentang urusan kerjaan. Sementara Liku, dia itu pendengar yang baik, dan bukan hanya mendengar, Liku juga sesekali memberi pandangannya tentang cerita Lika. Liku tak pernah menghakimi Lika, ia tulus.

Lika seketika tersadar. Hal itulah yang membuat Lika begitu nyaman dengan Liku. Liku itu bagaikan rumah, tempat Lika bisa ‘pulang’ dan melepaskan seluruh penatnya. Liku selalu menjadi orang yang tepat di saat yang tepat buat Lika. Itu sebabnya, ia sangat merasa kehilangan Liku ketika Liku mulai menjauh. Ia sosok yang Lika butuhkan.

Di samping itu semua, Lika juga sangat senang bisa menjadi sosok yang mengisi hari-hari Liku. Apalagi, Liku seorang penyendiri. Lika tahu Liku memiliki begitu banyak potensi yang bisa ia kembangkan, dan Lika selalu mendorong Liku untuk lebih aktif berkegiatan. Likupun kini terlihat lebih ceria. Lagipula menurut Lika, sebagai orang yang penyendiri, Liku cukup seru.

“Oi, ngelamun aja.” ucap Liku seketika memecahkan Lika dari lamunannya.

“Ih, apaan sih enggak.” jawab Lika mengelak.

By the way, abis ini kamu ke mana?” tanya Liku.

“Gak ke mana-mana sih.” jawab Lika.

“Mau ikut ke café seberang mal ga? Aku ada gig lho nanti malem sama band kampus.” tanya Liku.

“Seriusan? Cie sekarang anak band.” goda Lika.

“Ya, kan kamu yang ngenalin aku ke mereka dan nyuruh-nyuruh ikut band kampus.” jawab Liku. “Dan kebetulan, cocok juga sih aku sama mereka.” lanjut Liku.

Lika tersenyum seakan bangga. Liku kembali bertanya, “Jadi? Mau ikut?”

“Ya ikut dong!” jawab Lika antusias. Lika tentunya senang sekali bisa menghabiskan waktu dengan Liku.

Lika duduk menikmati band Liku tampil. Matanya hanya terfokus ke satu orang, Liku. Ia gak pernah menyadari bahwa ternyata Liku bisa se-memesona ini, dan bahkan, akhirnya bisa meluluhkan hatinya. Tata cahaya, suasana, musik, dan permainan gitar Liku membuat Liku terlihat begitu bersinar di mata Lika malam ini. Resmi, Lika jatuh hati.

Seusai penampilan dan berpamitan dengan rekan-rekan bandnya, Lika dan Liku berjalan ke luar. “Gils, tadi keren banget sih, Ku.” puji Lika.

“Ah, bisa aja.” jawab Liku tersipu.

“Serius, masa yang begini masih belum ada yang mau sih?” goda Lika.

“Ah…” Liku tersenyum kecil sedikit kaget, “Gak apalah, udah biasa sendiri juga lagian, hehe.” ujarnya.

“Emangnya, gak cape sendiri mulu?” lanjut Lika menggoda.

“Ya, gimana lagi, yang kumau gak mau denganku. Hehe.” jawab Liku bercanda.

Sejenak hening meliputi mereka yang sedari tadi berjalan santai menuju tempat parkir. Lika berjalan tertunduk sembari menggenggam tali tasnya.

“Aku mau.” ucap Lika seketika.

*bersambung ke episode selanjutnya

--

--

misha.
misha.

Written by misha.

sekelebat isi pikiran saya.

No responses yet