Cerpen: Mandi Malam
Jumat malam pukul 7 dan masih ada beberapa pekerjaan di kantor yang harus kuselesaikan. Di rukan 3 lantai ini hanya tersisa aku dan kedua anak buahku, Beno dan Oding. Sebab, seberes ini kami akan segera berangkat ke Puncak untuk urusan pekerjaan. Sebenarnya pekerjaannya sih masih esok lusa, tapi aku memutuskan untuk berangkat lebih awal guna berakhir pekan santai di sana. “Ya, sekalian deh. Lagipula sudah lama rasanya nggak istirahat,” pikirku.
“Bos, masih lama nih?” tanya Beno yang sedari tadi bengong di ujung tangga sembari meretas-retas kukunya.
“Sabar, masih ngedit sebentar. Enggak sabar amat sih mau ke Puncak,” balasku bercanda dengan mata terfokus ke laptop.
“Bukan apa-apa bos, takut ngantuk nih nyupir malam-malam,” sahutBeno.
“Halah lebay,” tanggapku. “Oh iya, Ding, itu tolong peralatannya pastiin jangan ada yang ketinggalan,” perintahku pada Oding.
“Beres Pak!” tanggapnya sigap. “Kamera, lensa, tripod, …” bisiknya sembari mengabsen barang-barang yang akan kami bawa.
Setengah jam kemudian kami berangkat dari Jakarta menuju Puncak. Sedikit macet harus kami rasakan akibat jalanan kota cukup padat di akhir pekan. Jalanan mulai terasa lengang ketika kami mulai melalui jalan tol menuju Jalan Raya Puncak. Setelah belak-belok melalui gang-gang kecil, jalanan kian gelap dan sepi. Maklum, tempat yang kami tuju terletak cukup dalam dan jauh dari jalan raya.
Gerimis kecil menyambut kedatangan kami di Cisarua. Setelah 1 jam salah jalan akibat sinyal GPS yang buruk, kami berhenti di dekat sebuah gerbang yang seharusnya adalah tempat yang kami tuju menurut hasil tanya-tanya orang sekitar. Namun aku ragu, gerbangnya tampak beda dengan yang kuingat. Ditambah, gerbang itu tertutup.
“Bos, gimana sih nih, katanya sudah pernah kemari,” tanya Beno gugup.
“Ya, kalau siang sih hafal. Kalau malam enggak kelihatan apapun,” balasku sembari sibuk mencari sinyal.
Tiba-tiba ada suara ketukan dari kaca di samping Beno. Tuk... tuk… Seorang tua berponco dengan lentera remang berdiri di samping kaca mobil.
“AAAAAAA!” teriak Beno yang sontak kaget. Kemudian ia membuka setengah kaca mobil.
“Adek-adek mau ke penginapan Bukit Nyiur ya?” tanya pria tua berponco itu.
“Ya Tuhan, ngagetin saja si bapak. Iya Bak, Bapak tahu jalannya?” tanya Beno.
“Pintu masuknya di depan, ini pintu belakangnya. Tapi, ndak apa, saya bukakan saja dari sini. Nanti saya antar,” balas si bapak.
“Nuhun, Pak.”
Pria tua berponco itu membukakan gerbang dan membiarkan kami masuk. Kami diantarnya menuju balai resepsionis. Seusai mengurus urusan administrasi, Pria tua berponco tadi ditugaskan untuk mengantar kami menuju bungalo yang kami sewa. Jalanan sekitar kami tampak begitu gelap, hanya ada remang lentera bapak tua berponco tadi yang memandu mobil kami. Tak lama, sampailah kami pada bungalo itu. Seusai membuka pintu dan menyalakan lampu, lelaki tua itu menyerahkan kuncinya kepada kami. Sementara kami mulai menurunkan barang-barang kami dari mobil dengan setengah berlari, menghindari gerimis.
“Oiya, di sini jangan mandi malam-malam ya, Dik.” ucap si Bapak sebelum pergi.
“Anu, memangnya kenapa pak?” tanya Oding.
“Mmm…” pria tua berponco itu berpikir sejenak. “Ya… ndak bagus aja buat kesehatan, wong ndak ada air panas juga. Lebih baik jangan deh,” ucap bapak itu seraya pergi.
Aku, Beno, dan Oding hanya saling tatap dengan tatapan heran, tapi kami tak begitu menghiraukannya. Selepas sedikit berberes, kami beristirahat sejenak di teras bungalo, ditemani beberapa batang rokok, cuaca gerimis, dan pijar lampu kuning temaram yang mulai dikerubungi laron. Sementara kerik tonggeret dan kuak katak-katak mulai terdengar, seakan merinai dari kejauhan.
“Aneh ya,” celetukku.
“Siapa?” tanya Beno.
“Bapak tadi. Peduli amat sampai nyuruh jangan mandi malam-malam.”
“Mungkin ada alasan lain kali pak,” tanggap Oding.
“Maksud kamu?” tanyaku.
“Ya, mana tahu pak, tempat kayak gini kan biasanya…”
“Hush, jangan bicara yang enggak-enggak Ding!” potong Beno gusar.
“Iya Ding, ngawur kamu. Lagipula kata bapak tadi kan karena enggak ada air panas, kalau kuat dingin ya silakan mandi,” pungkasku.
Usai habis beberapa batang rokok, gerimis mulai reda. Sementara waktu sudah menunjukan hampir tengah malam.
“Omong-omong soal mandi, saya mau mandi dulu deh, enggak betah,” celetuku seraya berdiri.
“Yakin, Pak?” tanya Oding.
“Ah, jangan menakut-nakuti deh, justru segar tahu. Lagipula saya enggak biasa tidur dengan badan lengket seperti ini, apalagi habis seharian dari kantor,” balasku.
Kami bertiga masuk ke dalam bungalo dan mengunci pintu. Beno dan Oding lekas masuk ke kamar yang mereka tempati berdua. Sementara aku bergegas masuk ke kamar mandi. Memang tak salah bapak tadi, air pancuran terasa sangat dingin sampai-sampai aku mesti sedikit meringkuk saat air pertama kali menyentuh badan. Meski demikian, lama-lama air mulai terasa menyegarkan.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan di pintu kamar mandi. “Duk, duk, duk, duk, duk…” lima ketukan cepat seperti seorang yang sedang kebelet buang air. Pasti Beno atau Oding dugaku, mereka merepotkan.
“Tunggu,” ucapku setengah berteriak.
“Duk, duk, duk, duk, duk…” ketukan yang sama kembali terdengar.
“Sabar woi!” teriaku sedikit lantang sambil membersihkan kepala yang masih penuh dengan busa sampo.
Jleb. Seketika lampu kamar mandiku mati. Aku yakin sekali ini ulah Beno atau Oding yang memainkan saklar lampu di luar.
“Woi asu, enggak lucu,” ucapku mulai serius. Namun belum selesai kalimatku, lampu sudah kembali menyala lagi. Kemudian mati lagi dan berkedip beberapa kali. Ini jelas ulah iseng.
Tak lama kemudian aku keluar dari kamar mandi. Usai berpakaian, aku bergegas menuju kamar Beno dan Oding. Ketika aku membuka pintu, aku mendapati mereka telah pulas tertidur, masing-masing masih dalam jaket dan celana jeans-nya. Sama sekali belum berganti pakaian.
“Hadeh, awas saja kalian,” ucapku menggeleng.
Keesokan harinya, kami bangun agak siang. Tak banyak yang kami perlu lakukan memang, kecuali beberapa hal yang mesti kupersiapkan sore ini.
“Ding, saya pergi dulu dengan Beno ke depan, ngambil beberapa establishing shot sekaligus tes drone. Kamu tunggu di sini, sekaligus standby kalau-kalau klien kita menelpon,” tegasku pada Oding.
“Oh, okelah pak,” balas Oding.
Aku dan Beno kemudian pergi mengambil gambar di sekitar kawasan tempat penginapan. Kira-kira pukul setengah 8 malam, kami selesai dan kembali berjalan pulang.
“Heh Ben, siapa yang iseng sama saya semalam? Kamu ya?” tanyaku sambil berjalan.
“Hah? Iseng apaan bos?” tanya Beno lugu.
“Halah, enggak usah pura-pura bodoh deh. Pasti kamu kan yang ketuk-ketuk dan mati-matiin lampu kamar mandi pas saya sedang mandi,” tuduhku.
“Bukan bos, sumpah. Semalam saya langsung tidur saking capeknya. Entah si Oding.”
“Wah, sialan si Oding kalau begitu.”
Tak jauh sebelum sampai ke tempat penginapan ada sebuah warung nasi goreng.
“Ben, beli nasi goreng aja nih buat makan kita. Beli 3 ya, saya duluan taruh barang-barang,” perintahku pada Beno sambil memberikan uang.
“Siap bos.”
Aku kembali berjalan menuju bungalo. Sesampainya di sana, aku mendapati ruang tengah kosong dan pintu tak terkunci. Terdengar suara pancuran dari kamar mandi. Aku mendekatinya dan melihat lampunyapun menyala. Tak salah lagi, pasti Oding sedang mandi.
Seketika, muncul ide isengku untuk membalas kejahilan Oding semalam. Tanpa pikir panjang, aku mengetuk-ngetuk pintu kamar mandinya. Anehnya, tak ada respon dari dalam. Kemudian aku juga memainkan saklar lampunya, tapi Oding masih saja bergeming.
Tak lama kemudian Beno kembali dengan nasi gorengnya. Ia masuk dan mendapati aku sedang berdiri di ambang pintu kamar mandi.
“Ngapain bos?” tanya Beno
“Nih, balas jahilin si Oding. Cuma sok berani dia, masa diam saja dari tadi,” jawabku sedikit terheran.
“Ding!” tiba-tiba ponselku berdering tanda sebuah pesan baru masuk. Aku merogoh kantong celanaku untuk melihat ponselku. Jantungku seketika berhenti ketika melihat pesan baru itu rupanya dari Oding.