Cerpen: Tidak Usah Menunggu Saya Lagi
Deru lokomotif hilir mudik di stasiun ini. Lalu lalang orang-orang mengucilkanmu di tengah keramaian; di antara mereka yang hendak melanglang, dan di sela-sela mereka yang baru saja pulang. Kamu masih berdiri di sana, ragu melaju, enggan beranjak. Sementara jarum detik di arlojimu tak melambat sedikitpun; keretamu akan segera berangkat.
Aku ingkar. Lelaki yang kemarin memintamu untuk menunggu ini tak akan sampai tempat waktu. Banyak alasan tapi juga tidak ada alasan — ingkar ya tetap saja ingkar. Namun jika tetap bisa berdalih, mungkin semesta memang tidak mengizinkan kita bersua. Jalanan macet, ban sepeda motorku kempis, hujan besar, puting beliung, hingga gunung meletus; dunia membentang sawar untuk memisahkan aku dan kamu.
Meski demikian, aku belum sekalipun mengucap menyerah. Namun, aku juga tak berani berjanji bahwa aku akan datang sebelum kau benar-benar pergi.
“Ya sudahlah, pasrah.”
***
Panggilan terakhir menuju gerbongmu baru saja diumumkan. Gelisah, kamu masih terus celingak-celinguk ke arah gerbang, mencari sepasang mata yang pasti di antara ribuan pasang mata lainnya. Sementara gerbongmu akan segera tertutup, meninggalkanmu dan segala mimpimu demi sepasang mata yang tak kunjung datang itu. Ia yang mungkin akhirnya tak pernah datang.
“Tidak usah menunggu saya lagi. Pergilah,” begitu isi pesan singkat dariku yang baru saja kamu terima. Sunyi seketika meliputi hiruk pikuk stasiun, kamu bergeming dalam hening yang sesaat. Sebelum akhirnya kamu membawa kopermu naik ke gerbong. Juga, tak ada tangis sedikitpun, hanya langkah tegas yang membawamu akhirnya beranjak pergi.
“Pak, pak…” seorang lelaki terengah-engah berlari menghampiri petugas stasiun. “Kereta itu sudah berangkat?” sambungnya.
“Sudah, sepuluh menit lalu.” jawab petugas itu.