Cerpen: Topeng
Namanya Kusno, warga desa ini. Hampir setiap pagi ia seperti itu, berangkat dengan mengenakan topeng dan tas besar yang berisi banyak topeng lain di punggungnya. Tak ada yang tahu pekerjaannya apa, tapi ia akan pulang nanti sore dengan sama seperti saat ia berangkat; dengan topeng dan tas besarnya. Orang-orang di sini menduga ia seorang pemain lakon, sebabnya ia pandai berlakon dengan topengnya. Ia selalu meninggalkan senyum di bibir orang-orang yang ia papas, terhibur dengan lakon dan gurauan Kusno dengan topengnya. Hampir semua orang di sini menyenanginya.
Kusno memang tampak seperti sosok yang pantas disegani. Ia ramah. Tak pernah sekalipun ia mencari masalah dengan orang lain; ia tak suka bersawala, lebih-lebih bertengkar. Bagi orang-orang, adabnya baik; ia terlihat rajin dan pekerja keras. Warga-warga desa menjadikan Kusno panutan bagi anak-anak mereka, agar kelak tumbuh besar menjadi sosok seperti Kusno. Meski demikian, tak banyak yang dekat dengan Kusno secara akrab. Kusno memang orang yang sangat tertutup. Seluruh warga desa tak ada yang pernah bertamu ke rumahnya, kecuali saya. Boleh jadi, saya satu-satunya temannya di desa ini.
Belakangan ini saya khawatir dengannya. Setiap pagi ketika saya melihatnya berangkat kerja, ia terlihat kian kurus. Langkahnya kian terasa berat, sementara tas yang dibawanya kian membesar. Kulitnya kian terlihat keriput, padahal usia kami tak berbeda jauh; sekitar setengah abad. Namun, kini ia makin terlihat renta, seperti sudah tujuh puluh tahunan.
Entah berapa banyak topeng di dalam tasnya sekarang, ratusan atau mungkin ribuan. Saya tak mengerti kenapa ia harus membawa segitu banyak topeng. Maksud saya, untuk apa? Saya tak berani menanyakannya langsung pada Kusno, takut menyinggung. Tapi, dulu ia tak seperti ini. Tiga puluh tahun lalu, ia berangkat hanya dengan dua topeng di kreseknya. Kemudian makin hari, koleksi topengnya kian banyak, dan ukuran tasnyapun kian membesar.
Beberapa malam kemarin ia mengundang saya untuk mampir ke rumahnya, sekadar minum kopi katanya. Saya mengiyakan, memang sudah lama sekali saya tak bertamu ke rumahnya, bertahun-tahun. Malam itu saya terkejut bukan kepalang; itu kali pertama saya melihat wajahnya tanpa topeng setelah sekian tahun. Wajahnya terlihat amat keriput dan kantung matanya membesar, hitam. Tak ada senyum dari bibirnya, ia terlihat sangat tak bergairah.
“Saya lelah,” Kusno membuka percakapan. “Bertahun-tahun saya begini, baru kali ini merasa begini.”
Saya hanya terdiam mendengarkan, bingung mesti bereaksi apa. Saya tak biasa melihatnya begini, tapi beginilah Kusno di rumahnya, tanpa topeng. Belum ada warga desa yang bertemu dengan sosok ini, Kusno yang tak bertopeng.
“Bertahun-tahun saya menyangkal cita-cita saya demi bisa hidup begini, saya kira ini jawabannya. Saya kira begini bahagia, tapi sekarang saya ingin mati,” ucap Kusno.
Lagi-lagi saya bingung. Kaget. Saya tak tahu apa yang sedang terjadi padanya sehingga sampai berkata demikian. Saya kembali terdiam dan menyeruput kopi saya. Kopi buatan Kusno sangat enak, masih seperti dulu.
“Topeng-topeng itu, itu untuk apa, Kus?” saya memberanikan diri untuk bertanya.
“Sejak kecil, ketakutan terbesar saya adalah mengecewakan orang lain. Saya selalu takut tingkah laku saya, perkataan saya, melukai orang lain,” ujar Kusno. “Tapi entah apapun yang saya buat, yang saya katakan, pasti tak bisa menyenangkan semuanya.”
Saya masih mendengarkannya.
“Sekali waktu, kedua orang tua saya bertengkar. Banyak hal, tapi salah satunya tentang saya, yang mereka inginkan dari saya berbeda. Singkat cerita, mereka berpisah, saya hancur,” lanjut Kusno masih bercerita. “Sampai saya mencoba mengenakan topeng untuk pertama kalinya. Saya membuat dua topeng, untuk menyenangkan ayah saya, dan untuk ibu saya. Sejak itu saya bisa membuat keduanya bahagia.”
“Sampai sebanyak ini?” tanya saya menunjuk ke tasnya.
Kusno menoleh ke tasnya. Tatapannya tampak nanar. “Ini yang saya kira saya inginkan. Topeng-topeng ini untuk semua orang yang saya temui. Saya ingin menyenangkan semua orang. Saya benci perselisihan, pertengkaran. Saya kira begini kedamaian yang saya inginkan.”
“Lalu sekarang kenapa, Kus?” tanya saya.
“Tas ini kian berat, mulai membebani saya. Saya lelah. Topeng-topeng ini perlahan terasa membunuh saya. Saya bahkan tak tahu lagi saya siapa. Setiap saya bercermin tanpa topeng, saya tak mengenali lagi wajah saya,” jawab Kusno. “Saya keliru. Saya sibuk membahagiakan orang lain, sibuk menjaga perasaan orang lain, saya kira itu bahagia saya. Namun nyatanya, itu yang membunuh saya secara perlahan. Saya lupa membahagiakan diri saya sendiri.”
Saya kembali kehabisan kata, hanya mampu memandangi gelas kopi yang isinya sudah habis saya reguk semua.
Kusno seketika berdiri. Ia menghampiri tasnya, membuka ritsletingnya, dan merogoh isinya. Ia mengambil sebuah topeng dan mengenakannya. Ia kemudian menghadap ke arah saya.
“Sudahlah, semua pasti akan baik-baik saja.” ujar Kusno di balik topeng yang bergambar sebuah senyum lebar. Tanpa disadari, saya ikut tersenyum.
Malam ini jalanan di depan desa ramai dikerubungi orang. Saya berusaha mendekat dan menyelinap ke dalam kerumuman agar tahu apa yang terjadi. Saya tersentak. Darah berceceran di mana-mana. Seorang jenazah terbaring di jalanan. Di tangannya masih tergenggam belati, ia menghabisi nyawanya sendiri. Kusno menggorok lehernya sendiri.
Ironisnya, tak satupun warga desa yang mengenali jenazah ini, hanya saya. Jenazah ini tak mengenakan topeng. Meski demikian, semua terlihat prihatin akan tragedi ini. Di samping jenazah, tergeletak tas, tas Kusno. Orang-orang yang sedang berkerumun menghampiri tas tersebut dan membukanya, mungkin ingin mencari identitas jenazah. Seseorang merogoh tasnya dan mengambil sebuah topeng dari dalamnya. Ia memandang topeng itu beberapa saat, kemudian seketika ia tertawa.
Orang-orang lain langsung mengerubungi tas itu dan berebut memilih-milih topeng yang mereka suka. Kemudian semuanya tertawa. Tertawa amat lepas dan kemudian berjalan pergi dengan topengnya masing-masing, dengan bahagianya masing-masing. Jenazah Kusno ditinggal begitu saja di sana. Sendirian, tak ada satupun yang peduli.
“Kasihan Kusno.” ucap saya dalam hati sembari berjalan pergi, tesenyum memandangi topeng yang saya genggam.