Hakim Tanpa Palu
“Gile ye, masih pada berani keluar aja. Goblok!”
Kalimat sejenis ini kerap saya temukan di media sosial, terlebih di masa-masa awal pandemi ini. Biasanya kalimat tersebut muncul dalam komentar-komentar soal masih banyaknya kerumunan aktivitas dan angka kasus Covid-19 yang semakin meningkat; entah anak-anak muda yang masih asik nongkrong ramai-ramai, atau kondisi pasar yang masih berkerumun. Ya, reaksi ‘kemarahan’ tersebut bisa dibilang wajar sih, tapi apa penghakiman tersebut berdasar dan berdampak?
Oke, tulisan ini tidak akan banyak membahas tentang pandemi Covid-19 yang sedang terjadi saat ini. Hanya saja, contoh di atas saya rasa dapat dijadikan pembahasan yang menarik soal topik ini. Kembali ke atas, melayangkan umpatan ‘goblok’ memang mudah, tapi apa penghakiman kita ini valid?
Ya, memang mudah sih buat golongan menengah ke atas buat tinggal di rumah doang, toh tabungan masih cukup dan semua bisa di antar lewat aplikasi daring. Sementara golongan yang kekurangan? Tulang punggung keluarganya terpaksa kena PHK perusahaannya karena ada pengurangan produksi, berdagangpun sulit karena di mana-mana sepi, sementara cicilan menunggak, dan anak, istri, masih perlu diberi makan. Terlebih, di negara berkembang ini tak banyak yang bisa dilakukan pemerintah bagi segini banyak rakyat pra-sejahtera. Di rumah doang, mana survive.
Teori hierarki kebutuhan oleh Maslow bahwa kebutuhan memiliki urutan prioritas, yaitu dalam hal ini physiological needs mendahului safety needs. Artinya, dalam hal ini juga, bagaimana orang bisa peduli terhadap pandemi ini kalau kebutuhan dasarnya (sandang, pangan, papan) belum terpenuhi? Sama seperti kita, mereka cuma sedang berusaha untuk survive. Kita (saya asumsikan pembaca ini berkecukupan) cuma beruntung terlahir di keadaan yang baik, atau setidaknya sekarang berada di keadaan yang baik.
Okelah, itu mungkin emang bener. Tapi kalo anak-anak muda yang masih bebal nongkrong-nongkrong gimana? Apalagi yang ga percaya Covid…
Ya, sejujurnya itu memang goblok sih, tapi terkadang mengonfrontasi mereka dengan umpatan goblok malah tidak bersifat konstruktif. Maksudnya begini, kita mungkin sudah paham akan bahaya Covid, penularannya, dsb. Kita juga mungkin teredukasi dengan baik. Namun, mungkin mereka tidak. Mungkin mereka belum tahu, atau belum mendapatkan cukup informasi yang membuatnya peduli terhadap apa yang terjadi saat ini. Ya, anggaplah anak kelas 1 SD yang belum paham soal konsep perkalian, wajar untuk salah dong. Tapi, anak 1 SMP yang sudah diajarkan perkalian, ya ‘bodoh’ kalau salah. Saya kira, memberi pengertian yang lebih mendalam akan jauh lebih efektif ketimbang menghakimi goblok. Kita tidak mungkin meng-goblok-i anak 1 SD yang belum fasih perkalian, kan?
Menangani orang yang memiliki pandangan berbeda dengan kita juga tak berbeda jauh. Pertama tentunya kita mesti memiliki pikiran yang terbuka. Pikiran yang terbuka bukan berarti menyetujui ide tersebut, tetapi mengerti bagaimana ide atau pemikiran tersebut bisa tercipta. Untuk itu, kita mesti menyelami pola pikir yang berbeda tersebut, guna bisa mengerti dan memahami. Dalam psikologi, ada yang disebut dengan ‘backfire effect’; ketimbang mengaku salah, seseorang cenderung makin yakin dengan kepercayaannya ketika dihadapkan dengan fakta yang langsung mengontradiksi pemahamannya. Jadi, meng-goblok-i orang yang tidak percaya Covid misalnya, tidak akan membuatnya jadi percaya. Guna menarik orang untuk sepaham dengan kita, mungkin kita butuh pendekatan yang sedikit lebih persuasif. Bagaimana mau mengubah jalan pikiran seseorang, kalau kita sudah menghakiminya sebelum mendengar atau mencoba mengerti?
Saya percaya selalu ada dua sisi cerita. Ada sisi yang mungkin tersembunyi dari suatu hal yang terjadi. Yang pasti, segala sesuatu terjadi karena adanya alasan, ada penyebab. Kemudian, setiap orang cuma melakukan sesuatu yang masing-masing anggap paling baik di persepsinya. Yang menjadi masalah adalah, yang paling ‘baik’ di persepsi setiap orang berbeda-beda. Kita ambil contoh: Bagi A, seorang ayah yang berkecukupan, hal terbaik yang dapat dilakukan ketika anaknya sakit adalah membawanya ke rumah sakit. Sementara bagi B, seorang ayah yang berkekurangan, ia dengan sangat terpaksa mencuri di tempatnya bekerja agar bisa mendapatkan uang guna membawa anaknya ke rumah sakit. Tindakan itu tentunya tidak benar, tapi itu keputusan yang dianggapnya paling baik yang bisa diambil saat itu. Serupa seperti The Paradox of Value, jika saat ini kita harus memilih antara sebongkah berlian atau segelas air, kita pasti memilih berlian. Tapi ketika katakanlah kehausan di tengah gurun, kita akan memilih air. Keadaan yang berbeda menciptakan keputusan yang berbeda.
Meski demikian, ada hal lain juga yang perlu diperhatikan; saya kira hukum itu perlu dipahami konteksnya. Misalnya, pejabat yang melakukan tindakan korupsi tentunya tidak sama dengan nenek-nenek yang terpaksa mencuri singkong untuk makan misalnya. Bukan soal jumlahnya, dalam konteks ini, pejabat tentunya berkecukupan, ia mencuri untuk ke
Oke, sebelumnya, saya menulis ini bukan untuk membenarkan keluar-keluar saat pandemi, atau membenarkan mencuri dan tindakan kriminal lainnya. Saya hanya memberi sudut pandang yang berbeda, sisi cerita yang mungkin kita lupakan ketika membentuk penghakiman. Saya kira dunia sudah memiliki terlalu banyak konflik untuk selalu ditambah lagi dan lagi setiap harinya. Hampir semua masalah di dunia ini berawal dari perbedaan paham, dan ketidakmampuan kita untuk mengatasi perbedaan tersebut. Dan penghakiman yang berlebihan, terlalu cepat, apalagi yang tak berdasar, tidak membantu sama sekali.
Halah banyak cingcong, nge-judge orang yang nge-judge orang juga termasuk nge-judge kaleee…
Hm… iya sih, tapi memang bukan berarti kita tidak boleh menghakimi sama sekali. Toh, kalau kita menghakimi seseorang, itu semacam reaksi yang spontan kan dari diri. Kalau begitu kenapa kita menghakimi?
Mungkin penghakiman berawal dari insting dasar kita sebagai mahkluk hidup. Untuk survive, kita menggunakan seluruh indera kita untuk mengobservasi dan kemudian menganalisis dunia kita. Contohnya, insting akan membuat kita menjauhi binatang buas, karena hasil observasi kita dan analisisnya menyimpulkan bahwa binatang buas berisiko terhadap survival kita. Insting untuk memersepsikan ini kemudian berkembang seiring semakin kompleksnya dunia dan kemampuan berpikir manusia. Misalnya sekarang, insting judgemental tersebut membuat kita cenderung menjauhi orang yang berpakaian seram.
Nah, tapi di dunia manusia yang sudah sangat kompleks ini, insting menghakimi tersebut semakin perlu diasah atau diperbarui. Contoh di atas misalnya, orang berpakaian seram tidak selalu jahat, atau sebaliknya justru kriminal sekarang banyak dilakukan oleh orang berpakaian rapih. Manusia itu kompleks dan dinamis, sehingga instrumen yang digunakan untuk menilai manusia juga harus selalu mengikuti perkembangannya. Menghakimi tidak salah, tapi harus berdasar.
Tapi jujur, semakin banyak tahu hal, saya semakin sulit menghakimi. Saya merasa kurang baik juga sih, karena cenderung akan menyerah terlalu mudah dengan keadaan. Misalnya, bukan rahasia lagi kalau angkutan umum dan bis kota, terutama di Jakarta kerap ugal-ugalan, berhenti sembarangan, dsb. Saya kerap geram sih, tapi kemudian saya mencoba mengerti. Ya, mau gimana, mereka cuma berbuat demikian demi kejar setoran, demi survive. Seperti paparan di atas, bagaimana mereka mau peduli lalu lintas kalau makan aja belum pasti dan cicilan kontrakan masih nunggak. Belum lagi, boleh jadi pendidikan mereka juga mungkin kurang baik. Saya tidak membenarkan mereka, tapi saya mengerti kenapa mereka demikian.
Ada satu hal lagi yang cukup membuka mata saya. Dalam sebuah wawancaranya, Bill Nye mengaitkan dampak perubahan iklim dengan terorisme di Siria. Singkatnya, kekeringan yang terjadi di Siria membuat para petani dan keluarganya harus meninggalkan tanahnya, dan terpaksa mengadu nasib ke kota. Di kota, tanpa sumber daya yang memadai dan lapangan kerja yang terbatas, membuat mereka menjadi kaum terpinggirkan, kekurangan. Hal tersebut membuat mereka semakin rentan terhadap ideologi-ideologi radikal yang memengaruhi. Terlebih, mereka merasa negara atau sistem tak berpihak pada mereka.
Dua hal tersebut membuat saya terkadang berpikir, bahwa manusia dan kehidupannya hanyalah ‘korban’ dari sistem, dari rentetan sebab-akibat yang terjadi sebelumnya dan tak bisa lagi diusut. Maksudnya, kita tak bisa memilih lahir di mana, bagaimana, dan tak bisa dimungkiri, previlege itu nyata adanya. Tapi tak usah terlalu banyak membahas ke sana. Satu, kita harus menerima dan berdamai keadaan (apalagi yang tak bisa kita ubah — baca tulisan sebelumnya soal Accepting Reality.) Kedua, faktor-faktor penentu yang dihasilkan sistem, tidak dapat diukur secara objektif akan menghasilkan suatu hasil yang pasti. Contohnya, tidak semua yang terlahir di keluarga miskin akan jadi miskin, atau tidak semua yang terlahir di keluarga broken home tidak mampu untuk menciptakan keluarga yang fungsional kelak. Hal ini terjadi karena faktor-faktor yang ada terlalu banyak dan kompleks sehingga tak mungkin dapat terukur; kondisi ekonomi, keluarga, lingkungan, kepercayaan, pola asuh, dsb., terlalu banyak. Ya, intinya sih walaupun keadaan yang menyebabkanmu begini, tapi jangan menyerah dengan keadaan.
Oke, seperti biasa tulisan ini ngalor-ngidul tanpa arah (Quick fun fact: ‘ngalor-ngidul’ itu dari bahasa Jawa yang artinya ke lor — utara, dan ke kidul — selatan; artinya ke mana-mana gitu maksudnya). Ya, pada akhirnya sih intinya cuma jangan terlalu cepat untuk menghakimi orang. Bukalah sedikit pintu empatimu. Saya kira, dunia akan lebih baik saat semua orang bisa memahami sesamanya, mengerti satu sama lain. Walaupun ya kesalahan tetap ada 2; kesalahan murni yang memang tak disengaja, dan kesalahan yang terjadi karena disengaja; seperti sebuah pepatah a second mistake is never a mistake.jadi, kalau ada mobil rese yang tiba-tiba main motong jalurmu di jalan, biarin aja lah… mungkin dia lagi kebelet kencing.
Hadeh… sok pinter lu, goblok!