Nelangsa

(adj.) sedih

misha.
5 min readJul 11, 2019
Photo by Noah Silliman on Unsplash

Aneh bagaimana kita bisa merasakan sakit tanpa adanya kontak fisik dalam bentuk apapun yang diberikan pada kita. Ya, sakit hati (bukan, bukan hepatitis) biasanya istilah yang kita gunakan untuk menggambarkan ini. Bagaimana bisa kesedihan, kekesalan, kekecewaan, ataupun juga kesepian bisa memberikan rasa yang cukup menyiksa bagi manusia. Bagaimana bisa hal yang tak terlihat memberi rasa sakit? Maksudku, kesedihan bukan seperti api yang bisa membahayakan tubuh kita oleh karena itu tubuh kita memberi reseptor rasa panas untuk kemudian menghindari api, bukan? Atau mungkin justru seperti itu?

Entah karena diputus cinta, dikhianati teman, atau ditinggal orang yang tersayang untuk selama-lamanya, kesedihan bisa memicu rasa sakit. Aneh bukan, tapi rasa itu seolah mengganjal di dada, bahkan bisa hingga sesak nafas dan pastinya juga, kesedihan selalu memicu air mata. Pada akhirnya, akan selalu muncul pertanyaan, mengapa kita sedih? Mengapa kita sedih saat ditinggalkan seorang teman, mengapa kita sedih saat dikecewakan, mengapa kita seakan menjadi begitu lemah di saat itu terjadi?

Banyak orang sering mengumpamakannya melalui penggambaran perasaan vs logika yang direpresentasikan melalui hati dan otak (walapun hati tentu saja tidak mengontrol perasaan, keduanya dihasilkan dari otak melalui bagian yang berbeda.) Tak bisa dimungkiri, manusia terikat dengan keduanya. Saya pribadi, dulu kerap meremehkan perasaan, maksudnya, ya sebagai orang yang cukup rasional, semua akan berjalan baik-baik saja jika kita mengikuti logika, mengikuti sistem yang sudah ada dan semua berjalan lurus. Hanya saja, ternyata manusia punya perasaan, ini tidak bisa diganggu gugat. Ada perasaan kompleks yang kalau dipikir secara logika sangat berlawanan, tetapi masih saja kita rasakan. Semisal seperti, rasa bersalah ketika sebetulnya kita tidak bersalah, rasa malu ketika kita tidak seharusnya malu, ataupun rasa sedih ketika kita tidak seharusnya bersedih. Tetapi, perasaan itu muncul begitu saja dan terkadang bisa mengalahkan logika. Ya, semisal saja seseorang yang disakiti oleh pasangannya, logika akan membuat kita untuk membencinya, tetapi perasaan tentu saja tidak membuat semuanya menjadi semudah itu. Perasaan membuat kita dengan bodohnya masih bisa percaya seseorang yang telah menghilangkan perasaan kita, akan tetapi logika juga bisa membuat kita kejam saja tanpa mempertimbangkan segala hal yang pernah dilalui. Perasaan dan logika itu berlawanan, tugas kita adalah untuk menyeimbangkannya menjadi sebuah sinergi. Perasaan tanpa logika adalah kebodohan dan logika tanpa perasaan adalah kejam.

Kemudian bagaimana rasa sedih yang ditimbulkan dari kesepian ataupun penolakan dapat menyebabkan rasa sakit yang bahkan bukan hanya secara mental tetapi fisik. Sebelum itu, perlu ditekankan bahwa kesepian (loneliness) dan kesendirian (being alone) merupakan dua hal yang berbeda. Seseorang bisa tidak merasakan kesepian saat sendiri dan sebaliknya seseorang bisa menjadikan kesepian saat dalam keramaian. Oleh sebab itu, kesepian bisa dirasakan siapa saja, bahkan yang memiliki segalanya. Louise Hawkley dan John Cacioppo dalam jurnalnya yang berjudul Loneliness Matters: A Theoritical and Empirical Review of Consequences and Mechanisms (2010) mengutarakan bahwa kesepian timbul dari kebutuhan manusia untuk bersosialisasi, sama seperti rasa lapar ketika ingin makan, kesepian merupakan sinyal yang diberikan tubuh kita untuk memenuhi kebutuhan sosial tersebut. Tetapi kemudian, mengapa bersosialisasi menjadi sebuah kebutuhan?

Faktor terbesarnya berasal dari bagaimana manusia beradaptasi dan berevolusi hingga saat ini. Manusia hidup dengan kelompok dan otak kita terbentuk untuk mengenali bagaimana orang merasa dan berpikir. Bersosialisasi merupakan bagian dari diri kita secara biologis. Hal ini terbentuk dari hasil seleksi alam yang berlangsung sejak ribuan tahun lalu. Berburu, mengumpulkan makanan, membuat rumah, tidak mungkin dilakukan sendiri. Berada dalam kelompok meningkatkan peluang survival kita dan adaptasi menuntut kita demikian karena tujuan utama dari setiap spesies adalah survival.

Photo by Perry Grone on Unsplash

Hal tersebut membuat kita dituntut untuk dapat bergaul dengan yang lain, terutama di lingkungan kita dan menjaga hubungan yang baik menjadi krusial bagi hidup manusia. Oleh karena itu, tubuh kita harus membuat suatu sinyal bahwa berada di luar lingkungan sosial menjadi hal yang ‘berbahaya’ ataupun ‘mengancam’ peluang survival kita. Tubuh kita merespon dengan membuat social pain dan itulah yang membuat penolakan dan kesepian begitu menyakitkan. Sama seperti bagaimana tubuh kita merespon pada api. Api berbahaya bagi tubuh kita oleh sebab itu tubuh kita membuat reseptor rasa panas agar tubuh kita menjauhi api. Sementara hal yang tidak mengancam seperti air atau angin, tubuh kita tidak merespon dengan rasa yang seperti itu.

Hal tersebut pulalah yang kemudian menciptakan kecenderungan sosial bahwa penerimaan lebih baik ketimbang kejujuran. Kita cenderung akan mengubah sebagian diri kita menyesuaikan dengan lingkungan sosial kita karena pada akhirnya manusia akan melakukan hal yang membuat dirinya diterima di lingkungan sosialnya. Social pain yang ditimbulkan tadi merupakan seperti sebuah peringatan untuk kita berhenti melakukan hal yang membuat kita dikucilkan dari lingkungan sosial kita, kemudian pada akhirnya kita akan mengubah perilaku tersebut agar diterima di lingkungan sosial kita atau mencari lingkungan sosial yang baru yang sesuai dengan perilaku kita.

Oke, sebelum tulisan ini makin kehilangan arah, poinnya adalah, kesedihan merupakan hal yang wajar untuk dialami dan kesepian merupakan kebutuhan biologis manusia. Jadi, jangan ragu untuk mengakui saat kita sedang sedih, jangan ragu untuk bercerita pada temanmu, jangan ragu untuk mengajaknya keluar, atau jika belum memiliki teman, jangan ragu untuk memulainya, dan jangan lupa untuk mengubah hal-hal buruk yang ada pada diri kita yang orang lain tidak suka. Tentunya, bukan berarti mengubah dirimu sepenuhnya dan menghilangkan jati dirimu. Karena kesepian biasa membuat sebuah siklus yang susah diputus. Kesepian membuat kita hanya terfokus pada pikiran negatif kita terhadap orang lain dan hal ini membuat kita makin terisolasi yang kemudian menyebabkan seseorang makin kesepian.

Tentu saja, kesedihan tidak bisa dihilangkan dari bagian kehidupan manusia. Kehidupan itu memang soal penderitaan. Berdamai dengan keadaan memang selalu menjadi jawabannya, hanya saja, tentu tidak semudah itu, bukan? Penolakan atau terlebih pengkhianatan bisa membuat kekecewaan yang begitu mendalam. Hanya saja, pada akhirnya, benar-benar tidak ada yang bisa dilakukan selain benar-benar menghadapinya. Kenyataan diapakanpun akan tetap jadi kenyataan. Memang untuk menerimanya butuh waktu, namun pada akhirnya, kesedihan merupakan hal yang bisa membuat kita belajar, bangkit, dan kembali bahagia, karena hal terbaik dari berada di titik terendah dalam hidup kita adalah hanya akan ada satu jalan selanjutnya, yaitu naik.

Gelap malam itu hanya sementara, matahari sudah menunggu di baliknya untuk kembali terbit dan pagi akan kembali tiba.

--

--

misha.
misha.

Written by misha.

sekelebat isi pikiran saya.

No responses yet