“Ayo Pah, lawan terus musuhnya!” begitu setidaknya saya membayangkan bagaimana kata ‘pahlawan’ tercipta. Walau pastinya bukan begitu, tetapi makna dari pahlawan ada di kalimat itu. Seorang pahlawan adalah seorang yang berjuang, melawan, atau bahkan berkorban tanpa pamrih demi hal yang ia yakini atau ia cintai sehingga menjadi sesuatu yang patut diperjuangkan.
Mendengar kata pahlawan, apa yang terbersit di pikiranmu? Jika wajah Kapten Pattimura, Ir. Soekarno, Tuanku Imam Bonjol, ataupun Bung Tomo yang terlintas di bayanganmu, berarti kita sama. Imaji pahlawan yang muncul pada gambaran kita memang seperti apa yang dibentuk sejak sekolah. Terlebih di sebuah negara yang masih relatif muda dan yang terlahir dengan merebut sendiri kemerdekaannya, menghormati pahlawan lewat pelbagai bentuk menjadi hal yang mungkin sudah sepantasnya di lakukan.
Sejak kecil bahkan, di sekolah tentu kita diharuskan menghafal atau setidaknya tahu beberapa nama pahlawan dan perjuangan yang ia lakukan. Walaupun, menghafal Perang Padri hingga Pertempuran Ambarawa terkadang terasa membosankan, tapi itu adalah hal paling kecil yang bisa kita lakukan sekarang untuk tetap menghidupi jiwa-jiwa kepahlawanan mereka. Ratusan tahun berlalu, potret wajah-wajah mereka tetap terpajang di jutaan buku-buku sejarah, RPUL (masih ada gak sih di zaman sekarang?), ataupun juga menjadi wajah-wajah yang menghiasi dompet-dompet kita. Tetapi, mengapa demikian? Apa yang membuat pahlawan menjadi begitu spesial sehingga kendati raganya telah tiada tetapi jiwanya terus hidup hingga sekarang? Apa yang membuat seseorang dapat disebut pahlawan? Terlebih, bagaimana caranya menjadi pahlawan?
Mungkin pertanyaan pertama yang seharusnya ditanyakan adalah, “Mengapa seseorang ingin menjadi pahlawan?” Maksudku, jadi pahlawan itu merepotkan, bukan? Berjuang demi orang-orang yang mungkin tak kita kenal, mengorbankan diri sendiri demi kepentingan banyak, atau bahkan merusak reputasi dan dibenci oleh sekelompok pihak tertentu. Menjadi pahlawan tidaklah mudah, pun menyenangkan, tetapi masih banyak orang yang rela berdiri di depan orang lain untuk melindungi, mengulurkan tangan untuk menolong, ataupun menaruh kepentingan yang lain lebih utama dari kepentingan sendiri. Mengapa?
Ada begitu banyak kutipan, pepatah ataupun definisi dari kepahlawanan. Namun kutipan dari seorang penulis, Joseph Campbell, saya kira cukup merangkum semuanya dengan sederhana. “A hero is someone who has given his or her life to something bigger than oneself.” Ya, seorang pahlawan adalah seseorang yang rela berkorban, rela berjuang, dan rela berjeri lelah untuk memperjuangkan hal-hal yang diyakininya. Pula, seorang pahlawan bukan seorang yang bukan lagi berjuang untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan lain yang jauh lebih besar dari dirinya, tanpa pamrih.
Hal tersebut yang kemudian menjadi alasan mengapa seorang pahlawan menjadi begitu dielu-elukan. Bahkan hingga matipun, tak akan pernah habis kita mengucapkan rasa terima kasih kita kepada para pahlawan dengan terus mengenang jasanya. Walaupun demikian, mereka bukanlah orang yang mencari pamrih atau mencari tenar, seperti yang dikutip dari Moh. Hatta, “Pahlawan yang setia itu berkorban, bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata membela cita-cita.”
Kita mengenal pahlawan sebagai sosok yang begitu hebat, semacam dipuja atau diagungkan, apakah kita bisa menjadi seorang pahlawan? Maksudku, orang biasa seperti kita, yang mungkin lemah, penakut, payah (oke, mungkin saya harus berhenti terus mendeskripsikan diri saya), apakah kita bisa? Menjadi pahlawan seakan menjadi hal yang sangat jauh untuk bisa kita cita-citakan. Jangankan untuk berperang dan mengangkat senjata, terkadang berdiri lama saat upacara saja sudah sangat melelahkan. Lagipula, di era sekarang, bagaimana lagi menjadi pahlawan sementara perang saja sudah jarang? Apa kita harus membuat perang terlebih dahulu?
Pahlawan bukan melulu soal senjata dan peperangan, dan perjuangan tidak hanya selalu dilakukan di medan tempur. Berkilas pada perjuangan Martin Luther King Jr. ataupun R.A. Kartini yang berkutat pada perjuangan menuntut kesetaraan. Perjuangan mereka tidak dilakukan dengan pertempuran dan senjata, melainkan dengan diplomasi yang bersifat konstruktif dan bergerak menuju kedamaian. Ya, mungkin perjuangan yang mereka lakukan masih terasa terlalu besar untuk kita lakukan sekarang, tetapi poinnya adalah perjuangan tidak hanya selalu dilakukan lewat pertempuran fisik.
Tetapi sebelum menjadi pahlawan, apakah orang pernah bermimpi atau bercita-cita untuk menjadi pahlawan? Ya, tentu saja tidak secara spesifik seorang anak akan menjawab “aku ingin menjadi pahlawan!” ketika ditanya ingin menjadi apa suatu saat nanti. Memang secara implisit, dengan jawaban mereka yang bercita-cita sebagai guru, dokter, polisi, atau sebagainya itu juga merupakan bagian dari pahlawan, atau bahkan anak zaman sekarang sudah banyak yang bercita-cita menjadi Iron-Man ataupun Spider-Man. Hal ini membuat saya bertanya, apakah seorang anak benar-benar bisa bercita-cita untuk menjadi pahlawan, maksudku, seseorang yang berkorban bagi kepentingan banyak? Lebih lanjutnya, apakah kepahlawanan dibentuk terpengaruh dari luar atau sudah terbentuk sejak lahir?
Sebuah penelitian yang dirilis oleh Georgetown University (https://www.georgetown.edu/news/brain-structure-of-kidney-donors-may-make-them-more-altruistic/) menunjukan bahwa orang-orang yang mendonorkan ginjalnya kepada strangers memiliki struktur otak yang berbeda, terutama pada bagian amigdala yang lebih besar. Bagian amigdala bertanggung jawab pada reaksi beberapa emosi termasuk di antaranya, compassion atau belas kasih. Penelitian ini juga menunjukan bahwa bagian amigdala pada orang-orang yang altruis ini merespon lebih kuat pada orang lain yang sedang dalam kesulitan. Dalam konteks ini, orang-orang yang bersifat altruis dalam bentuk donor ginjal ini masuk dalam kriteria pahlawan, yaitu dengan mengorbankan dirinya sendiri demi orang lain tanpa pamrih. Dengan penelitian tersebut, ditemukan faktor biologis yang membuat seseorang cenderung menjadi lebih altruis.
Tentunya, sifat heroisme bisa diasah. Ada banyak aspek, tetapi salah satunya yang akan dibahas yaitu menghindari Bystander Effect. Kasarnya, Bystander Effect merupakan sebuah klaim psikologis di mana seseorang akan cenderung untuk diam saja atau tidak menolong orang yang dalam kesulitan ketika ada banyak orang di sekitarnya. Sebagai contoh, anda mendengar teriakan dari lorong apartemen anda. Anda akan cenderung diam saja karena yakin bahwa akan ada tetangga anda yang mencari tahu dan memberi pertolongan. Hal ini bisa dihindari dengan lebih berani untuk menjadi yang pertama mencari tahu, yang pertama bertindak, dan yang pertama memberi pertolongan. Walaupun, mungkin akan terasa sulit dan merepotkan dalam beberapa keadaan tertentu, namun, keadaan seseorang bisa berubah karena satu keberanian kecil yang kita lakukan.
Oke, sebelum terlalu jauh melanglang buana, mungkin menolong orang masih terasa jauh ataupun sulit. Atau justru kita merasa bahwa sebenarnya diri kita yang harusnya ditolong. Ya… kalau begitu ayo kita menolong diri sendiri. Mungkin kita masih kerap merasa takut, khawatir, ataupun insecure dalam kehidupan ini, mungkin kita merasa tertekan oleh diri kita sendiri. Sangat sulit memang, menolong diri sendiri itu tidak pernah mudah, terlebih untuk melawannya. Namun, kita harus tetap menjadi pahlawan. Jika belum bisa untuk orang lain, mulailah dari diri sendiri. Jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri.
Mengutip filsuf Friedrich Nietzche, “But the worst enemy you can meet will always be yourself.” Menjadi pahlawan di sehari-hari bisa dilakukan dengan berjuang melawan diri sendiri terlebih dahulu. Seringkali, dan terkadang tanpa kita sadari, diri kita merupakan musuh terbesar kita. Kita kerap merasa takut ataupun terintimidasi dari tantangan atau rintangan yang menghadang jalan kehidupan kita. Namun, sekali lagi mengutip pernyataan Joseph Campbell, “The cave you fear to enter, holds the treasure you seek.” Justru di tempat-tempat yang kita ‘takutilah’, terdapat ‘harta karun’. Tantangan dalam hidup muncul untuk membuat kita lebih tangguh lagi dan naik ke level yang lebih tinggi. Mungkin ketakutan kita sehari-hari bukanlah hal yang ‘besar’, entah itu ketakutan menghadapi sidang skripsi, takut memulai bisnis, takut menyatakan perasaan, ataupun lainnya. Namun, di balik semua ketakutan dan kecemasan kita akan itu, percayalah terdapat imbal yang sepadan bagi kita. The treasure is right there waiting for you to get it.