Si Lebai Malang dan Amanatnya
Kisah Si Lebai Malang mungkin tidak sepopuler legenda-legenda dan cerita rakyat lainnya, tapi entah mengapa cerita ini cukup membekas di kepala saya. Dongeng ini kerap muncul di buku-buku Bahasa Indonesia sewaktu saya SD, bahkan hingga sekarang. Tentu saya tahu sebagian dari anda mungkin lupa atau bahkan tak pernah mendengar kisah Lebai Malang. Baiklah, nih … https://dongengceritarakyat.com/cerita-dongeng-rakyat-sumatera-barat-pak-lebai-malang/
Tentu ada beberapa versi dari cerita ini, tetapi semuanya masih mengikuti alur yang sama. Singkatnya, hiduplah seorang bernama Pak Lebai. Beliau mendapat 2 undangan pesta di waktu yang bersamaan, di hulu dan di hilir. Atas beberapa pertimbangan, beliau sangat bingung untuk memutuskan undangan mana yang mesti ia hadiri. Ia akhirnya memutuskan pergi ke hulu, sebelum akhirnya di tengah jalan ia berbalik dan mengayuh perahunya ke hilir, kemudian kembali lagi ke hulu. Sesampainya di hulu, pestanya sudah selesai dan ia buru-buru mendayung sampannya ke hilir. Dapat ditebak, pesta juga sudah selesai. Cerita ini kemudian diakhiri dengan Pak Lebai yang mendapat rentetan kesialan saat ia sedang memancing karena belum makan akibat keraguannya memilih pesta yang harus ia hadiri.
Secara sederhana, cerita ini mengajarkan kita untuk tidak menjadi orang yang plin-plan. Terlebih, dongeng ini juga mengajarkan kita untuk tidak menjadi orang yang tamak, karena salah satu alasan keragu-raguan Pak Lebai dalam memilih undangan yang harus ia hadiri adalah soal makanan yang disajikan. Hal-hal demikian dapat menuntun kita kepada kemalangan. Oke, itu cukup untuk menjawab soal Bahasa Indonesia SD yang biasa tertera di bawah cerita; “Apa amanat dari cerita tersebut?” Namun, saya rasa cerita Lebai Malang memiliki banyak sisi yang lebih dalam lagi.
Tentu kita merasa bahwa Pak Lebai adalah orang yang bodoh. Itu mungkin tidak salah, tapi yakinkah bahwa kita bukan hanya sekadar Pak Lebai lainnya? Ya, tentulah masalah kita bukan bingung untuk mendayung perahu kita pergi ke pesta mana, tapi ada rasanya beberapa hal yang serupa dengan kisah ini dalam hidup kita sehari-hari.
Pertama adalah soal harga yang mesti dibayar. Opportunity cost. Ketika kita memutuskan sesuatu, maka hal yang tidak kita pilih merupakan ‘harga yang mesti kita bayar’ dan tak boleh kita sesali. Kita tidak bisa berada di 2 tempat di saat yang sama, oleh karena itu kita harus merelakan opsi yang bukan menjadi pilihan kita untuk berlalu. Seperti Pak Lebai, kesempatan kita akan habis jika akhirnya kita tak bisa memilih, atau memilih kedua-duanya.
Hal ini kemudian berkaitan dengan fokus kita akan tujuan. Anda mungkin pernah mendengar istilah ‘jack of all trades, master of none’. Saya kerap merasa diri saya demikian, menggemari banyak hal tanpa pernah mendalami satupun. Tentu saja hal ini bisa bermula dari kemalasan. Belajar sesuatu hal yang baru itu mungkin menyenangkan, tetapi untuk menguasainya hingga mahir butuh waktu dan proses, yang mana sebagian orang tak punya kegigihan untuk itu.
“I don’t fear someone who has practiced a thousand kicks once, but I fear someone who has practiced one kick a thousand times.” -Bruce Lee.
Kembali ke Pak Lebai, kadang dalam hidup kita memiliki terlalu banyak arah, atau keinginan. Menentukan tujuan kita juga merupakan bagian dari proses. Terkadang kita mesti mengeliminasi opsi-opsi dan memutuskan ke arah mana kita akan beranjak. Berjalan ke dua arah yang berbeda hanya akan berarti kita tidak akan sampai ke titik manapun. Berpikirlah sejenak dan matangkan tujuanmu.
Tentu memilih adalah bukan perkara yang mudah. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada jalan yang kita tempuh. “Bagaimana jika saya salah memilih?”, “Bagaimana jika jalan yang saya pilih ternyata jalan yang salah?” Kenyataannya adalah kita tidak akan pernah tahu, dan itu adalah kuncinya.
Kita menjadi tahu saat kita sudah mencobanya, bukan? Lagipula, bagaimana kita tahu kalau jalan yang kita tempuh salah? Apakah jika kita memilih jalan lainnya kita akan berakhir lebih baik? Well, mungkin iya, mungkin tidak. Intinya adalah, tidak ada yang kita ketahui dengan pasti, kita hanya berpikir seolah-olah kita tahu. Seperti sebuah ungkapan klise, “everything happens for a reason.” Apa yang terjadi tergantung dari bagaimana kita meresponnya. Kegagalan bisa membuahkan banyak pembelajaran yang jika kita panen dengan baik, akan menjadi pondasi menuju jalan yang lebih baik. Lagipula, selama mesin waktu belum tercipta, menyesal adalah hal yang sia-sia. Keep moving forward!
Terakhir adalah soal menyenangkan semua pihak. Pak Lebai dengan naifnya menyanggupi 2 undangan di saat yang sama. Memang cerita Lebai Malang tidak terfokus di hal ini, tapi hal ini cukup menjadi sudut pandang yang menarik karena kerap kita temui di hidup kita sehari-hari. Terkadang kita berada di posisi sulit untuk menolak; entah karena merasa sungkan, atau memang karena merasa tak tega. Harus mengecewakan seseorang adalah hal yang sulit, dan harus diakui memang sulit. Namun, pada akhirnya kita tetap saja tak mungkin bisa menyenangkan semua pihak.
We can’t please everyone. Banyak pepatah bijak yang mengatakan demikian. Hidup tidaklah ideal ataupun sempurna, jadi kita tidak mungkin bisa memuaskan semua pihak. Memanglah begitu yang sebagaimana mestinya terjadi dalam hidup. Kita tidak bisa selalu berdiri di atas 2 perahu. Di persimpangan, kita mesti memilih di mana kita berdiri atau jika tidak, ya tenggelam.
Hidup itu terdiri dari rentetan pilihan-pilihan yang mesti kita pilih setiap harinya. Selagi belum ada teknologi yang bisa membuat kita berada di 2 tempat di waktu yang sama, atau mesin waktu untuk mengulang waktu; kita masih tetap harus memilih dan hanya menjalani satu pilihan itu. Jangan sesali pilihan yang tidak kita pilih, kesalahan ada untuk menjadi guru bagi masa depan yang lebih baik. Teruslah mendayung maju, belajar, dan buat pilihan-pilihan baru yang akan datang menjadi lebih mudah untuk dipilih.