This is Not the Life I Wanted
Sebagian orang mungkin pernah atau sedang merasa bahwa hidup yang sedang dijalani saat ini bukan hidup yang kita inginkan. This is not the life I wanted. Tentu saja hidup yang kita inginkan tak serta-merta kita dapatkan begitu saja, hidup kita setiap hari kita perjuangkan untuk meraihnya. Itulah mungkin alasan mengapa kita bekerja, berderma, atau lainnya tergantung aspirasi hidupnya masing-masing. Kita bergerak ke arah tujuan hidup kita. Namun, semudah itukah?
Saya rasa tak semua orang pada akhirnya bisa mengejar hidup yang kita inginkan. Segelintir orang mesti mengorbankan cita-cita hidupnya demi menghidupi orang lain, atau sebagian lainnya hidup terpenjara oleh jeruji kasat mata yang menghalanginya dengan dunia luar, banyak hal. Ya sebut saja seseorang yang mesti merawat orang tua atau pasangannya yang sakit, seseorang yang mesti bekerja menghidupi 6 adiknya, atau seseorang yang berhasrat di bidang seni tetapi dipaksa menjadi dokter oleh orang tuanya. Hal-hal ini banyak terjadi di sekitar kita dan membuat saya kerap berpikir, “Hidup ini untuk kita atau untuk orang lain?”
Baru-baru ini saya menonton sebuah ceramah motivasi yang salah satu poinnya membekas di kepala saya; stop feeling fine not getting what you want. Kita kerap memaksakan semuanya menjadi baik-baik saja padahal sejatinya tidak. Banyak dari kita yang hidup sangat susah, hidup dari utang ke utang, atau hidup tersiksa menjalani pekerjaan yang tidak kita inginkan dan kita tetap merasa fine dengan mengucapkan “Ah, ya sudahlah, mau bagaimana lagi.” Kata fine atau menerima dengan lapang kemalangan yang menimpa kita seakan menjadi simbol kemalasan atau ke-menyerah-an karena dengan merasa baik-baik saja akan hal itu, kita menjadi tidak perlu melakukan apapun, seolah tiada yang salah dengan itu. Kalau kita mau hidup yang kita inginkan, kita harus mengejarnya, jadi stop merasa oke-oke saja dengan hidup yang bukan kita inginkan.
Di sisi lain, ada juga sebuah filosofi Jawa yang disebut dengan nrimo ing pandum atau kerap hanya disebut nrimo. Nrimo atau mungkin diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi nerima/penerimaan adalah salah satu pedoman hidup yang mengajarkan untuk mensyukuri apapun yang diterima. Baik saat untung maupun malang, ya terima saja. Filosofi ini berdasar pada hidup yang sudah menjadi suratan dari yang kuasa dan kita manusia hanya meyakini bahwa Sang Khalik memiliki rencana yang baik bagi tiap manusia. Tentu tidak salah bukan, kita tentu mesti bersyukur akan hal-hal yang terjadi di hidup kita. Filosofi ini memberikan kesan kepasrahan sekaligus optimisme akan hari-hari yang akan datang. Lalu kembali ke awal, bagaimana kedua jalan pikiran yang kontradiktif ini dapat bersinergi jika mereka menentang satu sama lain?
Dalam hidup ini ada 2 hal; hal yang tak bisa kita ubah dan hal yang bisa kita ubah. Hal yang tidak bisa diubah meliputi: bagaimana kita terlahir, di mana kita lahir, siapa orang tua kita, dsb. Sementara di sisi lain banyak hal di dunia ini yang dapat kita ubah: pekerjaan, pergaulan, dan apapun pilihan-pilihan yang hidup kita hadapi setiap hari. Nah, tentu saja hal yang tak bisa kita ubah jangan kita apa-apakan, hanya akan membuang-buang energi. Menyesali mengapa kita lahir di tempat yang bukan kita inginkan adalah hal yang bodoh, karena kita tidak bisa mengubahnya. Di sinilah kita harus bisa nrimo.
Dunia ini tidak adil. Terimalah kenyataan bahwa hidup ini memang tidak adil. Kita semua punya garis start yang berbeda-beda sejak lahir, memiliki kesempatan yang berbeda-beda, dan banyak faktor lainnya. Di dunia ini, kadang kejahatan bisa membawa kesuksesan dan kebaikan kadang bisa justru menghukummu. Di dunia ini tak ada kesempurnaan, dan mencarinya hanya hal yang sia-sia.
“Salah satu kesalahan yang sering kita lakukan adalah merasan kasihan pada diri sendiri, atau pada orang lain, berpikir bahwa hidup ini seharusnya adil, atau suatu hari nanti hidup ini pasti adil.” -Richard Carlson
Semenara untuk hal-hal yang bisa kita ubah, kita harus berjuang mati-matian dalam hidup ini untuk mencapai tujuan kita atau apa yang kita inginkan dalam hidup. Akan tetapi, tentu saja dalam hidup ini ada risiko, ada harga yang mesti kita bayar. Misalnya, ingin turun berat badan, tentu saja kita mesti diet dan capai-capai berolahraga; atau ingin mengejar cita-cita yang sebenarnya kita inginkan, kita mesti menyakiti hati orang tua kita yang mengharapkan lain. Jika cita-cita kita sepadan dengan harga yang harus dibayar, tentu saja tak ada salahnya mengejar impian kita. Toh, hidup ini cuma sekali dan kita sendiri yang menjalani hidup ini. Tetapi juga tak ada salahnya jika pada akhirnya hidupmu memang kau yakinkan untuk dikorbankan untuk orang lain, itu berarti memang sudah menjadi tujuan hidupmu, dan itu merupakan sesuatu yang sangat bahadur untuk dilakukan.
Hidup memang aneh, ia begitu rumit akan tetapi juga sederhana. Saya selalu percaya hidup ini adalah soal keseimbangan, sinergi antar kedua sisi. Kita perlu jujur tapi juga perlu sedikit cerdik, sesekali kita mesti mundur dan tidur tapi lain waktu mesti berjuang dan perang, atau dalam hal ini kita mesti bisa bersyukur dan nrimo tapi juga terkadang kita perlu sedikit menjadi egoistis. Menurutku tak ada yang salah karena kita selalu membutuhkan dua sisi kehidupan itu.
Jadi, hidup ini untuk siapa? Tentu saja ini hanya bisa dijawab oleh masing-masing kita, tapi yang pasti matilah tanpa rasa sesal. Jika kau rasa hidupmu akan lebih berguna jika dikorbankan untuk yang lain, maka itu adalah hal yang sangat berani. Tetapi jika kau ingin mengejar cita-cita hidupmu sendiri, itu juga hal yang gagah untuk dilakukan. Apapun itu, jalanilah hidup ini dengan baik.